Chapter 8 Kita Sampai

66 11 6
                                    

GEMERISIK dedaunan kering mengganggu tidurku, namun aku masih enggan untuk membuka mata. Awalnya kukira hewan liar, tapi pergerakannya terdengar mencurigakan. Suara langkahnya teratur dan begitu hati-hati, mendekati tempat peristirahatanku dengan perlahan.

Gerakan langkahnya semakin dekat. Tepat sedetik setelah kupastikan langkah terakhir sosok itu berada di jarak yang cukup terjangkau, dengan cepat, tanganku bergerak mencengkeram pergelangan seseorang yang telah berada di depan wajahku dan memelintirnya ke belakang. Membuat sedikit rasa nyeri di kepalaku karena bangun dengan gerakan yang tiba-tiba.

"Argh! Hei, hentikan. Ini aku!"

Suara melengking itu menusuk pendengaranku, sekaligus membawa kesadaranku.

"Oh, maaf."

Aku melepas cengkeraman, sedang Nethan, pemuda bertubuh ramping itu menatapku kesal sambil mengusap-usap pergelangan tangannya yang sakit.

"Makanya jangan mengendap-endap begitu," kataku sambil memasang tampang tak bersalah. Dan tanpa memedulikannya yang hendak marah-marah, aku segera beranjak berdiri untuk merenggangkan tubuh.

Sudah pagi. Matahari telah terbit, cahayanya menghangati tubuhku yang hampir membeku sejak semalam. Aku menghirup udara segar dalam-dalam, lantas menghembuskannya.

"Oh, apa itu?" Pergerakan mataku berhenti, pada pemandangan asing yang berbeda dari ingatanku semalam. Terdapat dua ekor kuda yang tertambat tak jauh dari tempatku berdiri. Seingatku, semalam tak ada apa pun di sana.

"Kau tidak tahu? Itu namanya kuda."

Ingin sekali aku melemparkan sesuatu padanya, untungnya aku berhasil menahan sabar.

"Aku juga tahu itu. Maksudnya kenapa bisa ada di sana?"

Nethan menarik pinggiran bibirnya, ia tersenyum bangga, "Aku membelinya," katanya sembari memperlihatkan lehernya yang kini tak tergantung perhiasan apa pun.

Mulutku menganga lebar. Sangat mengejutkan. Pemuda manja yang awalnya bersikeras mempertahankan kalung batu safir itu ternyata berhasil menjualnya.

"Kebetulan tadi aku bertemu pedagang lewat yang hendak melanjutkan perjalanan, jadi aku menjual kalungku padanya dan membeli kuda-kuda ini di pusat perkampungan," jelas Nethan tanpa kutanya.

Aku terkesan. Sebagai seorang pemuda manja, dia cepat belajar. Ceramahku semalam ternyata tidak sia-sia.

Nethan berjalan menghampiri tempat kuda-kudannya tertambat dan mengelus lembut surai salah satu kuda yang berwarna cokelat gelap. Ia kembali menoleh padaku. "Aku tidak tahu kemana tujuan perjalananmu, tapi sebagai ucapan terima kasihku, aku membelikan juga untukmu."

"Kurasa aku tidak melakukan apa pun untuk bisa mendapatkan ucapan terima kasih," sahutku heran. Karena menurut ingatanku, aku hanya terus memarahinya sepanjang malam. Atau mungkin ia berterima kasih karena telah membantu membuka pikiran dan semangatnya untuk bertahan hidup. Entahlah. Mungkin saja.

Namun mencegah sebelum ia berubah pikiran, maka segera kutambahi, "Tapi akan kuterima dengan senang hati."

Nethan tersenyum bangga. Sedang aku ikut menghampiri kuda lainnya.

"Ke mana tujuanmu setelah ini?"

Tanganku yang mengelus surai kuda berhenti sejenak mendengar Nethan bertanya.

"Ethanium," jawabku. "Setidaknya untuk saat ini."

***

Biasanya, perjalanan menuju kota besar Ethanium dapat memakan waktu berhari-hari lamanya. Tapi kali ini berbeda. Menunggang kuda hingga ke kota besar Ethanium dapat ditempuh dengan lebih cepat, meski tetap saja membutuhkan waktu. Melewati beberapa perkampungan demi perkampungan, hutan demi hutan, beberapa kali terpaksa berhenti karena cuaca yang tidak bersahabat dan juga sempat bermalam di salah satu desa yang kami singgahi.

FatedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang