epilog

13.4K 479 43
                                    

Ciuman itu nggak penting. Ciuman bukan wujud rasa sayang yang sesungguhnya. Banyak cara yang bisa lo lakuin buat nunjukin rasa sayang lo ke orang yang lo sayang. Seperti Daffa, ia memberikan pengorbanan. Jauh lebih indah kan daripada sebuah ciuman?

Cinta bukan sekedar materi atau "Aku cinta kamu". Cinta lebih dari itu. Cinta bisa membuat orang egois dan bodoh seperti gue. Atau sejati dan pengorban seperti Daffa. Tapi cinta nggak pernah muluk-muluk, mereka hadir di setiap orang yang membutuhkan kebahagian.

Gue dan Daffa bahagia. Kami bahagia. Bodohnya, kami baru menyadari cinta itu hadir di tengah kami. Nyatanya dari awal kami berteman, cinta sudah lebih dulu mempertemukan. Cinta juga yang mempersatukan. Oh, cinta juga yang menyempurnakan kami.

Dan.... gila! Cinta bisa membuatmu gila. Jadi hati-hati dengan yang namanya cinta. Mereka bisa membuatmu terbang ke kayangan atau terbenam ke laut. Itu pilihan. Karena cinta mengajarkan kebijaksanaan.

"Ngelamun aja lo!" Entah kapan Daffa sudah memeluk gue dari belakang, menaruh kepalanya di sela leher gue. "Ngelamunin apa sih?"

Gue tersenyum mendengar suaranya yang berat. Bukan lagi suara Daffa yang sering mimpi basah. "Cuman inget masa lalu."

Daffa tidak menyahut. Hidungnya asik mencium aroma leher gue. Lalu setelah mendapatkannya, ia menghembuskan nafasnya yang membuat bulu kuduk gue merinding.

"Nggak sabar malam pertama..."

Yeah, semenjak ciuman dia jadi semakin berani memperlihatkan sisi mesumnya. "Harusnya kan gue nggak di sini."

Tangannya beralih ke rambut gue. Memilin-milin seperti anak bayi. "Kita kan ketemu bukan sebagai calon penganten yang besok mau menikah. Tapi jadi sepasang sahabat."

Gue rasa bagaimana pun alasannya, mama gue dan mamanya nggak bakal seneng kalo tahu anaknya menghilang untuk bermalam di rumah calonnya. Yah, masih saja di era gue menemukan orang pintar seperti Bill Gates, pingitan masih patut dilaksanakan.

"Gue masih nggak percaya bakal menikah sama lo."

"Iya, sama. Padahal masih banyak cewek berdada bulat yang mau sama gue."

PLAK!!

"Di luar sana juga masih banyak cowok tinggi yang mau mencium gue tanpa jinjit dulu."

Kami tertawa. Mengingat kebodohan masa remaja karena "ciuman" itu. Oh, percaya deh. Masa lalu kami yang absrud itu mengajarkan kami banyak hal. Saling terbuka (tidak menyembunyikan apapun loh bukan sama-sama terbuka di kamar berduaan) dan menerima kekurangan satu sama lain.

"Aku nggak pernah nyesel milih kamu. Aku bangga memiliki kamu," ucap Daffa mencium kening gue sayang.

Gue memejamkan mata. Ini bukan mimpi, gue udah sering nggak percaya. Tapi kenyataannya dia hidup. Perasaan gue nggak mati.

"Apa aku harus bales "I love you too, Daffa"?"

Daffa menggelitik pinggang gue, membuat kami tertawa geli. "Tuuuh kan, kamu nggak sayang lagi nih sama aku."

"Nggak." Dia tahu ini bohong.

"Masih aja cewek umur 25 tahun main april moop," ledeknya.

Ah, brewok dan ucapan dia membuat umurnya terlihat lebih tua dari pada gue.

"Cha, sebenernya aku mau ngasih kamu sesuatu," bisiknya.

Wajah gue terangkat menatapnya. Kedua alis gue bertautan. Daffa bangkit dari posisinya dan mengambil sebuah note bersampul merah hati.

'My Journal xx Daffa Ganteng'

Duh, judulnya aja norak. Ganteng-ganteng alay.

"Kamu buka deh," perintahnya. Ia duduk di samping gue. Kepalanya ia senderkan ke lengan gue.

KISS METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang