"Apa jangan-jangan Farrah punya virus HIV ya, Del? Sampe-sampe Daffa jatoh gitu?"
Dela memukul kepala gue. "Nggak lah! Mati langsung iya."
"HAH?!" gue tambah panik.
Dela cuman memutar matanya sebal. "Mana mungkin lah? Jadi orang jangan bego-bego banget kenapa? Mungkin sih pas mereka ciuman ada virus yang masuk, tapi belom tentu HIV lah."
Gue kembali tersenyum getir. Gue yang semula berdiri langsung duduk jongkok. Melipat kedua tangan gue diantara paha yang menenggelamkan kepala gue.
Daffa selingkuh. Gue nggak bisa marah. Dia nggak salah. Dari awal semuanya nggak bakal kaya gini andaikan gue nggak berharap kita lebih dari teman. Harusnya gue sadar siapa gue, siapa dia.
"Cha? Gue nyakitin hati lo, ya?" Dela sudah berjongkok di depan gue. Tangannya mengelus halus punggung gue.
"Lo nangis?" tanyanya saat wajah kami bertatapan.
Gue tersenyum seraya menggeleng lalu menghapus kasar pipi gue. "Sorry, gue cuman kebawa suasana aja tadi."
Dela memeluk gue. Lagi-lagi dalam diam gue menangis di pundaknya.
"Daffa nggak gitu, gue percaya dia."
"Gitu gimana? Maksud lo dia cinta sama gue?"
"Itu mah gue nggak ragu lagi. Dia cinta banget sama lo, Cha. He loves you sooooo..... much."
"Terus kenapa dia nggak mau nyium gue? Kenapa?" tanya gue menuntut seakan gue meminta penjelasan langsung dari Daffa.
Dela menyapu halus sisa air mata gue. "Daffa sendiri yang bisa jelasin, Cha."
"Nggak perlu," ucap gue lirih.
Dela mengernyit bingung. "Maksud lo?"
"Sekarang gue cuman mau dia sadar. Gue nggak bakal nuntut dicium lagi. Gue juga bakal lepasin dia, biar dia bebas sama Farrah."
Satu hal yang bisa gue petik. Ngerelain orang yang lo sayang bahagia memang lebih indah daripada terus memaksanya mencintai lo. Daffa pasti ingin terbang bebas dari sangkar yang selama ini memenjarai perasaannya.
"Cha, lo-" ucapan Dela terpotong saat Dokter yang menangani Daffa keluar dari ruangan. Mimiknya nggak bisa tertebak. Kami sontak bangkit berdiri karena khawatir.
"Ada keluarga saudara Daffa disini?" tanya sang Dokter.
"Keluarga Daffa masih dalam perjalanan, Dok."
"Anda siapanya?"
"Saya....." ucap gue gantung. "Temannya Daffa."
Dokter tersebut mengangguk, ia mempersilahkan gue masuk untuk membicarakan perihal sakit Daffa. Tentu saja, gue berharap bukan sakit yang serius.
"Del, lo nggak masuk?"
"Nggak, gue di sini aja nungguin keluarganya Daffa dateng. Lo masuk gih."
Gue mengangguk dan mulai memasuki ruangan. Kami berhenti di sisi kanan kasur Daffa. Dia sudah sadar dan lebih baik dari sebelumnya walau pun wajahnya pucat pasi.
"Tidak ada sakit serius, Daffa hanya kelelahan dengan aktivitas basketnya. Sebelumnya Saya sudah memperingatkannya untuk tetap tidak memforsir badannya terus menerus dan mengatur pola makannya dengan teratur."
"Tapi Dok, Daffa rajin minum susu sama makan sayuran kok."
"Ya, memang. Tapi tubuh kita juga butuh karbohidrat. Dan dalam tubuh Daffa apa yang dijalankannya tidak sebanding dengan sebanyak yang tubuhnya terima, sehingga saat dia kelelahan tidak ada yang bisa dibakar lagi."
"Daffa diet?" tanya gue nggak yakin.
Dokter tersebut menatap Daffa dengan malas. Daffa hanya sanggup tersenyum karena kondisinya yang masih lemah. Ah, gue jadi berasa ngomong sama guru yang abis marahin anak gue.
"Dia memaksa Saya memberikannya resep peninggi badan selain bermain basket. Tapi dia malah berlebihan melakukannya."
Gue mengernyit nggak percaya. Daffa ingin tinggi?
"Kalau begitu saya permisi." Dokter tersebut pergi hanya meninggalkan kami.
Gue tersenyum mengejek. "Jadi Daffa mau tinggi?"
Dia menghela nafas. "Yah, ketauan deh."
"Mau jadi tinggi biar apa sih?"
Sebenarnya itu hal yang wajar. Semua orang ingin sempurna. Begitu pula dengan Daffa, ia ingin lebih menyempurnakan dirinya.
"Biar lo tahu rasanya ciuman sama pemain basket yang tinggi nan ganteng. Gue mau jadi pangeran lo."
Daffa...
"Rasa sayang gue ke lo ngalahin rasa benci gue ke basket, sayur dan susu. Apa yang lo suka, jadi kesukaan gue juga," sambungnya.
Astaga! Daffa?
"Dan soal ciuman itu..."
"Shhh," ucap gue menempatkan jari telunjuk tepat di bibirnya. "Gue sekarang paham. Lo nggak usah jelasin, gue percaya sama lo."
Salah paham. Kami berdua salah. Gue nggak butuh Daffa yang sempurna. Gue butuh Daffa yang bisa memposisikan gue sebagai pacarnya. Tapi gue salah, karena dari dulu gue sudah mendapatkannya.
"Sebenernya itu impian gue dulu sih, sekarang gue maunya ciuman sama Daffa."
Yeah, lucu rasanya. Cowok ganteng nan tinggi yang dulu gue impikan nggak menarik lagi dari pada Daffa. Cowok mana sih yang hari gini mau mencintai lo sekaligus mencintai kebenciannya sendiri buat lo? Oh, how lucky I am?!
Daffa tersenyum berarti, begitu pula dengan gue. Bibir kami melukiskan senyum tanpa suara tapi sangat bermakna. Mereka seperti berteriak tidak bisa menunggu lebih lama lagi.
"Kiss me, dong!"
"Nggak!" tolak gue memeletkan lidah. "Males, bekas bibirnya nenek lampir!"
Daffa terkekeh. Ia menggelengkan kepalanya jijik sendiri mungkin mengingat Farrah yang langsung menyosornya. Meski gue nggak ngeliat langsung bagaimana peristiwanya, tapi gue yakin bukan Daffa yang memulai.
"Aku nggak yakin bisa tinggi dalam waktu dekat, tapi... aku nggak bisa nunggu lebih lama lagi. Aku tahu, kamu jugakan?"
Yeah.
Kami bersitatap lama. Daffa mendekat tanpa ancang-ancang, wajah kami tinggal beberapa senti lagi. Wangi susu tercium dari helaan nafasnya. Kami memejamkan mata perlahan. Kedua sudut bibir gue terangkat, apa yang gue mau sudah di depan mata.
Cklek!
"HEH LO BERDUA!"
Kami berdua terlonjak kaget. Dela sialan! Hampir aja gue dapet ciuman pertama gue dan dia... ah, sudahlah.
"Nyokap bokap-nya Daffa dateng, untung gue cek lo berdua dulu. Dasar gila!"
Gue dan Daffa cuman cengengesan. Malu ditangkap basah mau ciuman. Ah, kami bisa melakukannya lain waktu. Bahkan setiap waktu kami bersama.
KAMU SEDANG MEMBACA
KISS ME
Novela Juvenil"So kiss me?" Ini bukan soal harga diri, Icha cuman mau haknya sebagai pacar sah Daffa. Dia cukup tau dengan segala kekurangannya, memiliki Daffa sebagai pacarnya sudah seperti hoki menang kuis berhadiah rumah senilai 4 miliyar. Kisah ini buka...