Kabar buruk! Kenapa gue selalu dapet yang buruk?! Mending kalo gue mirip Princess Belle, lah ini? Pake gaun kuning disangka Dijah Yellow kali gue.
“Ayolah, Cha! Apa salahnya sih? Biar jadi kenang-kenangan gitu, sebentar lagi kan kita lulus,” mohon Dela masih membujuk.
Dengan muka ga kalah melas gue masih menolak. “Enggaaa!! Lo kan tau dari dulu gue ga bisa main basket! Suruh yang lain aja kek siapa gitu!”
“Ga ada lagi yang masuk kecuali elo. Tenang kok, lo ga perlu main nanti. Cuman lari-lari ikutin bola aja ga usah ngapa-ngapain, kalo anggota kita kurang kelas kita bisa didiskualifikasi. Malu-maluin kan?”
“Jadi lo jadiin gue tumbal gitu? Lo sama aja mempermalukan gue secara ga langsung, gila aja gue dilapangan cengo ga ngapa-ngapain kaya nungguin kambing kawin. Mendingan gue nungguin kambing kawin beneran deh!” ucap gue masih kekeh.
***
Jadi disini gue sekarang. Di lapangan basket siap untuk bertempur dengan kelas 12 IPS 2 yang rata-rata badan perempuannya mirip Michael Jordan. Bohong deng, maksud gue mereka rata-rata anak basket semua. Bisa bayangkan betapa pusingnya pala barbie?
Diujung sana Daffa yang menjadi wasit berdiri dengan keringetnya yang bercucuran, kausnya masih basah oleh keringat dan, hmm... mencetak dadanya yang bidang dan perutnya yang rata. Seksi. Eh? Kenapa gue jadi maksiat gini?
“ICHA AWAAAS!!!!!”
BUUUK!!
Pala barbie... pusing. Sayup-sayup mata gue melihat segerombolan orang mengelilingi gue. Bola basket sialan, berani-beraninya dia nyium bibir gue sampe jontor! Badan gue yang berasa rontok, kini melayang dalam gendongan seseorang.
“Daffa?” lirih gue hampir berbisik.
“Jangan bawel! Kita ke UKS sekarang.”
***
Perlahan gue mengerjapkan mata gue. Dengan hati-hati gue bangun dari kasur dan mendapati cermin memantulkan rupa wajah sampai pinggang gue. Gue mengernyit merasa aneh melihat jidat gue yang tertempel plester merah muda dengan hiasan gambar hati.
“Alay banget,” desis gue mengomentari plester itu.
“Lo yang alay,” ucap seseorang dari balik pintu.
Gue mendengus sebal melihat penampakannya di ujung jendela. Dia berdiri seolah meminta gue untuk berterimakasih karena udah jadi pahlawan gue.
“Kok bisa sih lo ga fokus kaya gitu?” Daffa mulai mengintrogasi seakan gue yang menjadi tersangka, padahal disini gue cuman korban.
Sialnya gue ga mungkin ngasih tau ke dia kalo badannya penyebab kekacauan ini. Bisa-bisa dia sujud syukur karena udah putus sama gue. Eh? Memangnya kita sudah putus?
“Mulai sekarang lo ga boleh lagi main basket,” larang Daffa setelah duduk di kasur yang terletak dua jengkal di depan gue.
Andaikan Dela ga memelas, gue juga ogah main basket. “Terserah gue, emang lo siapa gue?”
“Pacar lo,” tegasnya. “Kita jadian dengan keputusan bersama, sekarang lo mau putus dengan keputusan sepihak? Sama aja lo ngelanggar HAM, Cha.”
“Masa bodo gue dengan hak manusia, yang gue peduliin hak gue sebagai pacar lo!” emosi gue.
Dia menghela nafasnya gusar. “Sepertinya gue harus menanyakan ini, gue jadi ragu kalo lo bener jatuh cinta sama gue.”
Daffa terdiam. Menatap gue beberapa saat. “Apa gue masih disana? Apa otak lo yang lemot masih memikirkan gue setiap saat? Apa lo masih merasakan yang lo bilang jatuh cinta itu sama gue? Karena gue iya, gue jatuh cinta sama lo, Icha.”
“Engga! Semuanya udah musnah, Daf! Jatuh cinta yang gue bilang udah berubah jadi rasa benci.” Gue bilang begitu, tapi air mata gue turun mengisyaratkan gue sedang berbohong. Mata pengkhianat!
Daffa mendekap gue erat, tanpa peduli sakitnya badan gue. Dahsyatnya pelukan itu, ulu hati gue yang sakit mengangsur membaik. Pelukan Daffa seperti obat terampuh untuk menyembuhkannya. Karena selangkah pun, seorang Daffa disana engga bakal pernah ninggalin hati gue.
“Lo jahat, Daf! Lo menemukan gue saat gue sakit, dan lo meninggalkan gue dengan hal yang serupa. Secara bersamaan lo memainkan dua peran, Daf. Disini lo yang jadi protagonis sekaligus antagonis,” cibir gue dengan hati mencolos.
Kepalanya yang tenggelam di leher gue menggeleng. “Bagaimana lo memanggilnya secara bersamaan? Pria bejat? Silakan, asal lo masih membiarkan gue berperan disana.”
“Dan asal lo tau,” jeda Daffa tertahan. “Gue selalu stay disini, lo yang menjauh seolah lo pelari yang handal. I miss you, Icha.”
Gue termangu untuk beberapa saat. “Me too,” ucap gue akhirnya.
Lantas apa gue harus berlari lebih lama lagi? Bukannya gue udah terjatuh? Ya, you look stupid when you fall in love.
“Stay or leave?” tanya gue memastikan. Perempuan butuh kepastian, dan laki-laki sejati harus memiliki keputusan.
“Are you doubt?” tanyanya menangkup wajah gue. “You knew the answear.”
“Not really sure how to feel about it. It takes me all the way.”
Tinggal atau pergi, dia tetap tinggal disini dan membawa pergi hati gue kemana pun. But, I want him to stay there for long long time.
![](https://img.wattpad.com/cover/29463581-288-k742723.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
KISS ME
Roman pour Adolescents"So kiss me?" Ini bukan soal harga diri, Icha cuman mau haknya sebagai pacar sah Daffa. Dia cukup tau dengan segala kekurangannya, memiliki Daffa sebagai pacarnya sudah seperti hoki menang kuis berhadiah rumah senilai 4 miliyar. Kisah ini buka...