08

1K 169 35
                                        

Dua Bulan Kemudian

Menuju beberapa hari sebelum kelahiran, Rose sekarang diambang deg-degan. Gimana lagi, takut-takut ngeri bayangin ada anak keluar dari sana. Mama Rose bahkan sudah siap siaga tinggal di rumah Rose sejak sebulan lalu. Katanya buat jaga-jaga karena Veedan kerja dari pagi sampai sore.

"Mama, Rosie mau makan salad buah." Memang, Rose kalau sudah sama mamanya manja sekali. Pasti menyebut dirinya dengan Rosie dan nanti dia akan diperlakukan seperti tuan putri. "Pesen di gofood aja kali ya mah?"

Mama di dapur sedang membuatkan Jus. "Heem pesen aja. Dikulkas gak ada buah. Habis dek." Teriakan itu terdengar dari telinga Rosie. Segera dia membuka aplikasi gojek dan cari salad buah di gofood.

"Mama mau toping keju apa coklat? Rosie keju." Teriak Rose. Kalau dia beli, mama juga harus dibelikan. Itu namanya anak berbakti.

"Samain aja dek." Mama berjalan ke arah Rose membawa dua gelas jus jambu. Lantas dia sodorkan kepada sang putri. "Perkiraan lahiran kamu berapa hari lagi dek? Empat hari lagi ya?"

Rose menyeruput jusnya sembari mengangguk. "Iya ma. Aduh Rose takut deh."

"Beneran mau normal dek? Enggak caesar aja?" Mama memastikan lagi. Siapa tahu anaknya berubah pikiran.

Total sudah yakin, Rose sangat ingin lahiran normal. "Enggak ma. Rose itu pengen rasain sakitnya. Pengen tahu perjuangan lahiran."

Mama Rose trenyuh, kemudian usap kepala putrinya. Roseanne Senjakala sang putri bungsu. Senang sekali dia melihat putrinya sebentar lagi akan menjadi seorang ibu. Dulu rasanya hampir gila mama Rose saat anak itu menolak lamaran Jimmy. Padal mereka cukup umur untuk menikah. Kemudian malah putus dan Rosenya menjomblo dua tahun.

Semakin ruet pikirannya. Tetangga sudah ribut ini itu bilang awas nanti jadi perawan tua. Untung saja ada malaikat yang berbaik hati tawarkan perjodohan. Awalnya mama agak berat karena umur Veedan. Namun, ayah dari suaminya akhirnya berikan keyakinan jika umur bukan masalah.

"Kamu walaupun sudah dewasa, tapi tetap kayak bayi dimata mama. Rose nanti kalau anakmu dah lahir, kamu bakal jadi wanita paling bahagia di dunia ini."

Senyum Rose semanis sembayan. Dia mengangguk senang. Sampai tiba-tiba sesuatu mengucur dari bawah. Rose juga merasakan sakit sekali.

Melihat ekspresi Rose, mama lalu menengok ke bawah. "Hah? Rosie air ketubanmu pecah." Buru-buru mama menyambar kunci mobilnya.

Mama memapah Rose guna pergi ke mobil. "Ayo sayang. Bentar-bentar ini dipakai dulu sabuk pengaman." Ucap mama sembari memakaikan sabuk pengaman.

"Aargh, mama sakit banget aduh-duh ma. Huhuhu. Telfonin mas Veedan ma cepetan." Rose mengaduh lantas memegangi perutnya. "Aduh nak ini sakit banget. Tahan bentar."

Segera mama menutup pintu dan lari memutar guna masuk ke dalam kursi kemudi. Mama mengenakan sabuk pengaman lantas menginjak pedal gas. Tangan mama sembari menekan dial panggilan.

Di sisi lain, Veedan tengah rapat dengan para koleganya. Mereka akan membuka pabrik baru di kota Ungaran. Yoga yang bawa ponsel Veedan, merasakan adanya getaran berulang kali. Akhirnya, Yoga sedikit bungkuk guna berbisik.

"Bos ponsel anda geter terus. Ada telfon nih." Bisik Yoga ditelinga sang bos.

Veedan berdecak. "Siapa sih. Ini kita lagi rapat loh. Sini-sini." Dia meminta ponselnya. Menghadap para kolega dengan senyum terbaiknya. "Bentar ya pak, ada telfon."

Melihat nama mama mertua, alis Veedan naik ke atas. "Iya mah, ada apa?"

"ROSE MAU LAHIRAN. MAMA LAGI PERJALANAN KE RUMAH SAKIT."

Senja dan Fajar[✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang