1·2

65 18 0
                                    



Soal pertanda yang dibicarakan Aurel tempo dulu, mungkin benar adanya, hanya saja aku yang tak begitu paham.

Enam bulan alias satu semester telah berlalu, dan aku merasa jika...aku dan Putra lebih dari sekedar "ketua dan wakil".

Aku sadar akan perasaan itu, namun aku terus menyangkalnya karena aku tahu, perasaan itu tak pantas tumbuh untuk saat ini. Perasaan itu hanya akan menjadi sebuah aroma yang bisa membuat semua orang terbuai, hingga tak sadar sudah terjerumus pada hal yang tidak diinginkan.

Soal Putra, aku tidak tahu apa yang dia rasakan, juga isi hatinya yang sebenarnya. Tapi melihat gelagatnya setiap kali kami berdua membahas soal program kerja atau apapun itu, sepertinya dia lebih membuka dirinya di hadapanku dan..mulai merasa nyaman denganku?. But, I don't know.

Wacananya, di penghujung semester ini kami akan mengadakan sebuah event yang memang rutin diadakan dari tahun ke tahun. Event tersebut masih dua minggu lagi dari tanggal yang telah ditetapkan, tetapi kami sudah mulai membahasnya, seperti rapat sekarang ini.

Namun seluruh penghuni ruang rapat gelisah, sebab sudah tiga puluh menit berlalu, dan Putra tak kunjung datang.

"Sandra, mending lo mulai dulu aja deh. Putra biar nyusul aja" Yasmin, sekretaris OSIS, menyahut dari kursinya.

Baiklah, aku bangkit dari kursiku dan berjalan ke depan ruangan. Begitu aku hendak mengucapakan salam untuk memulai rapat, seseorang yang ditunggu sejak tadi akhirnya muncul di daun pintu.

Putra berjalan masuk ke ruangan dengan wajah muramnya. Kemudian ia berhenti tepat di sampingku.

"Gue Akasa Pandhu Putra, mulai detik ini, keluar dari OSIS"

Speechless, satu kata yang menggambarkan situasi yang sedang terjadi. Semua anggota OSIS berseru tertahan dan mulai bertanya-tanya, apa alasan Putra tiba-tiba mengundurkan diri?.

Setelah mengucapkan kalimat yang mengguncangkan seluruh peserta rapat hari ini, Putra langsung pergi. Meninggalkan sejuta tanda tanya di benak semua orang.

Aku pun berlari mengejar Putra di koridor sekolah, guna mendapatkan jawaban dari sejuta tanda tanya tersebut.

"Putra! Tolong jelasin, kenapa?! Ada apa?!"

Hanya sebuah lirikan sinis dan gelengan Putra yang menjadi jawaban atas pertanyaanku. Kemudian ia kembali melangkahkan kakinya yang sempat terjeda.

"Lo gak boleh pergi sebelum jawab pertanyaan gue. Kenapa lo tiba-tiba mutusin buat keluar dari OSIS?" Aku menarik ujung lengan bajunya untuk mencegahnya agar tidak pergi lagi.

Kali ini Putra menatap ke arahku, kemudian memojokkanku ke tembok sekolah sambil mencengkram kedua bahuku dengan kuat.

"Skateboard gue patah..." Tatapan tajamnya juga suara deep voice-nya yang bisa menciptakan rasa merinding dalam relung hati, membuatku sibuk menerka-nerka apa yang akan lelaki itu lakukan.

"...dan itu berarti hidup gue juga bakal kayak skateboard gue, hancur"

Usai mengatakan hal tersebut, Putra pergi tanpa bisa kucegah. Membiarkan aku sibuk berkutat dengan tanda tanya yang lebih besar. Apa semua ini salahku?.

***


Sejak peristiwa menggemparkan itu, Putra tak pernah terlihat lagi batang hidungnya. Hingga seminggu kemudian, tak ada kabar apapun darinya. Guru-guru pun juga tak menanyakan apapun tentangnya, membiarkan kami sibuk menerka. Seakan ia hilang ditelan bumi, dan guru-guru tutup telinga soal itu.

Tak bisa membiarkan tanda tanya itu semakin besar, maka aku memutuskan bartanya langsung pada Pak Kepala Sekolah.

"Putra? Bukannya anak itu sedang izin?" Pak Kepsek menjawab enteng sembari mengerjakan kertas-kertas-entah apa.

"Tapi izin apa, Pak? Kenapa sampai lebih dari seminggu?" Lebih tepatnya dua belas hari, batinku.

"Sakit, mungkin?" Pak Kepsek mengendikkan bahu.

Mungkin?. Apa Pak Kepsek tidak tahu apa kabar tentang anak itu?. Aku berusaha menyelidiki setiap gerak-gerik Pak Kepsek, nampaknya ada yang sedang beliau sembunyikan.

"Maaf, apa ada yang sedang Bapak sembunyikan?" Aku berusaha bertanya sesopan mungkin agar tak menyinggung perasaan Pak Kepsek.

Kali ini Pak Kepsek benar-benar menatapku dalam, "Memangnya kamu harus tahu?"

Jujur, agak menusuk, "Ini sudah dua belas hari Putra tanpa kabar sejak Putra mengundurkan diri dari OSIS. Sedangkan dua hari lagi kami akan mengadakan event, dan itu semua tak akan berjalan tanpa persetujuan darinya. Meskipun dia sendiri menyatakan keluar dari OSIS, tapi dia belum dapat persetujuan dari kami semua"

Pak Kepsek manggut-manggut sambil menatapku yang harap-harap cemas, menanti tanggapan darinya.

"Tapi sayangnya dia sudah di D.O, Nak"

Aku terkesiap, berharap ucapan Pak Kepsek barusan adalah mimpi.

"Apa alasan Putra tiba-tiba dikeluarkan dari sekolah?" Aku tahu, Putra bukan orang yang gegabah, dan keputusan Putra yang aku dengar barusan nampak tak masuk akal untuk seorang Putra.

Pak Kepsek menggeleng, "Bapak tidak bisa memberi tahu alasannya, Nak. Itu privasi"

Aku memainkan jari jemariku, apa yang harus aku lakukan sekarang?. Apa aku harus menggantikan posisi Putra sebagai ketua?.

"Saran Bapak, jika kamu keberatan menggantikan posisi Putra, kalian bisa rapat, membahas siapa yang pantas menjabat sebagai ketua. Memilih dari penjelasan Putra tempo lalu, Bapak yakin Putra tak akan kembali, jadi kalo bisa secepatnya kalian cari penggantinya. Juga, tolong jangan sebarkan berita ini, Bapak tidak mau persiapan event kalian terganggu gara-gara berita ini. Akan ada saatnya, kamu boleh memberitahu yang lain"

Pak Kepsek menghela nafas sejenak, memperhatikan raut wajahku yang terlihat kusut.

"Kamu boleh meninggalkan ruangan ini. Bapak masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan" Pak Kepsek tersenyum tipis. Mulai "mengusir" ku dengan halus.

Aku balas berpamitan dengan sopan dan menutup pintu ruangan kepala sekolah dengan perasaan yang tak dapat diurai dengan sajak paling indah sekalipun.

Dia...tak akan kembali?.

.
.
.
.
.

Memeluk Bintang JatuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang