Aku melihat Putra yang keluar dari ruangan konsultasi setelah satu setengah jam aku menunggu di bangku panjang tak jauh dari sana. Putra tersenyum senang melihatku yang masih setia menunggu atau lebih tepatnya tersenyum senang melihat tanganku yang telah menggenggam jiwa toast pesanannya.
Untung saja saat itu harga jiwa toast sedang diskon, sehingga aku bisa membeli jiwa toast meski hanya varian dengan harga paling murah. Itu pun baru bisa aku dapatkan setelah berjuang merogoh dompetku hingga sudut-sudutnya, walau hanya mendapatkan beberapa recehan.
"Makasih" ucapnya singkat.
Lepas itu, Putra mengajakku pulang, pergi ke halte tempat kami semula turun. Memang sesingkat itu agenda jalan-jalan kami karena rencananya hanya menemani Putra pergi konsultasi.
Kami mendapat dua bangku kosong di bagian belakang bus. Bus kala itu terlihat lapang walaupun sudah menjelang siang. Putra menggigit jiwa toast-nya dengan lahap, tak mempedulikanku yang tergiur menatap toast yang sudah tergigit satu bagian itu. Yang beli malah gak dapat, batinku.
"Mau?" tawarnya, untung anak itu peka.
Aku mengangguk dan mengambil alih toast itu dari tangannya. Aku menggigit toast itu di sisi lain, bertepatan dengan Putra yang ikut menggigit toast yang masih berada di genggamanku pada sisi satunya. Membuat jarak di antara kami sangat dekat selama beberapa detik.
"Heh!" aku terkejut dengan tindakan yang mendadak itu.
"Katanya mau nyoba, gimana sih?" balas Putra dengan tatapan tak berdosa, kemudian kembali melanjutkan melahap jiwa toast-nya yang sudah ia ambil alih dari tanganku.
Aku menghembuskan nafas pasrah dan menunggu hingga bus tiba di halte tujuan kami. Aku sudah bersiap turun seiring Putra justru menahan lenganku.
"Gak usah turun" ujarnya.
"Lah, ngapain? Kan dah nyampe" aku berusaha melepas tanganku dari cengkeraman tangannya, yang justru cengkraman lelaki itu semakin kuat.
"Tuh kan, busnya udah keburu jalan" aku berucap dengan rasa kecewa. Kenapa di saat aku sudah lepas dari cengkraman Putra, bus ini malah sudah meninggalkan halte tujuan kami?.
"Emangnya ini mau kemana?" aku menghempaskan tubuhku pada bangku di sebelah Putra, masih dengan perasaan kesal.
Putra tak menjawab, hanya mengangkat bahunya dan memasang salah satu bluetooth hitamnya pada telinga kanannya.
***
Putra membawaku ke sebuah gedung yang sangat besar dan luas. Awalnya aku tak tahu gedung apa itu meskipun sudah melihat nama gedung di papan reklame besar di pinggir jalan dan papan di atas pintu masuk. Setelah masuk, akhirnya aku mengetahui gedung apa yang sedang kupijak. Sebuah arena dari permainan tembak-tembakan bertemakan galaksi.
"Ini gantinya buat janji main basket yang gak jadi waktu itu" Putra bertutur sebelum seorang pemandu datang dan berdiri di hadapan kami.
Pemandu itu pun menjelaskan permainan "galaxy of trove", tajuk permainan yang akan kami mainkan. Ia menjelaskan jika kami akan dibagi menjadi dua kubu galaksi. Dua kubu tersebut akan bersaing untuk mendapatkan sebuah benda sakral yang entah berada dimana. Setiap kubu juga berhak menembaki lawannya, oleh karena itu kami dilengkapi rompi dengan sensor pada bagian dada dan gelang karet yang juga bersensor pada lengan kiri bagian atas. Kami juga dilengkapi satu senjata laser setiap orang. Jika bidikan laser tersebut terkena sensor, maka sensor akan berbunyi yang menandakan jika pemain telah mati. Sensor tersebut juga tersambung pada sistem utama permainan sehingga jika ada pemain yang telah mati, sistem tersebut akan memberi tahu ke seluruh penjuru bahwa si pemain telah mati melalui pengeras suara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memeluk Bintang Jatuh
Teen FictionYang hampa biar terbang, yang bernas biar tinggal Yang tidak berguna biarlah hilang, tetapi yang baik biarlah tinggal Dan di sini, aku sebagai yang "tidak berguna" Namun katanya, "yang baik biarlah tinggal" Maka aku tinggalkan perasaanku untuk dijag...