Hanya saat itu, aku bertemu dengan Putra. Setelahnya, ia kembali hilang bak ditelan bumi. Dia selalu pergi dengan meninggalkan sejuta tanda yang semakin besar.
Tapi malam itu, suratan takdir Tuhan mematahkan semua persepsiku tentang Putra.
Sepulang belanja dari minimarket, aku harus melewati jalan yang lebih jauh karena jalan yang biasa ku lewati ditutup. Ada kondangan yang mengharuskan setiap sisi jalan pasrah ditutupi tenda bernuansa biru tua serta musik khas nikahan yang berdentum memenuhi langit-langit tenda. Ingin rasanya mengumpat ibu-ibu yang sedang asyik berswafoto itu, tapi mau bagaimana lagi.
Untuk sampai di rumah melewati jalan ini, aku harus melintasi sekolahku juga. Dari depan gerbang sekolah, aku bisa melihat, seorang laki-laki yang sudah tak asing lagi bagiku sedang bermain basket seorang diri di tengah lapangan.
Untuk apa Putra bermain basket sendirian malam-malam, sedangkan dia sudah menjadi warga sekolah lain?. Apalagi langit telah dirajai oleh bulan, bukan lagi matahari.
"Pak, orang itu sedang apa ya disini?" tanyaku pada Pak Satpam yang sedang berjaga.
"Oh, Nak Putra. Dia sudah biasa main basket sendirian malam-malam di sini. Tapi gak tahu kenapa akhir-akhir ini Nak Putra sudah jarang ke sini, baru hari ini ke sini" jawab Pak Satpam. Bahkan Pak Satpam saja tidak tahu jika Putra bukan lagi bagian dari sekolah tempatnya berkerja.
Aku mengangguk, memutuskan mendatangi Putra yang telah berhasil memasukkan bola ke dalam ring.
"Lo ngapain disini?" Putra yang lebih dulu menyadari keberadaanku.
"Seharusnya gue yang nanya begitu. Btw, lo ternyata jago main basket ya"
Putra menghentikan sejenak gerakannya yang sedang men-dribble bola, "Gak juga. Biasanya, gue main basket kalo gabut"
Lima menit kedepan, hanya menyisakan suara dari bola yang dipantulkan Putra. Aku yang bingung dengan apa yang harus ku lakukan di sini, memilih menanyakan pertanyaan besar yang akhir-akhir ini terus bergentayangan dalam benakku.
"Maaf, sekali lagi gue nanya, apa alasan–"
"Gue udah bilang, gue gak bisa ngasih tau. Sekali gak bisa tetep gak bisa, atau gue harus ngajarin lo tentang "batas-batas privasi orang yang gak boleh ditembus"?. Tolong, jangan jadi beban gue buat hari ini" Putra membiarkan bola basketnya menggelinding di lapangan, dan menatapku dengan tatapan yang mengerikan serta dengusan nafas yang terdengar berat dan putus asa disaat yang bersamaan.
Aku membisu, merutuki diriku sendiri yang tak bisa menyaring kata-kata yang pantas untuk diucapkan.
"Maaf" cicitku pelan, lalu aku balik kanan, memutuskan meninggalkan Putra sendirian. Mungkin aku hanya akan mengganggunya disini, atau malah memperburuk suasana hatinya.
"Ayah marah lagi ke gue"
Baru lima langkah, aku sudah menghentikan langkah kakiku. Bimbang dengan Putra yang tiba-tiba berkata seperti itu.
Putra berjalan mengambil bolanya yang sempat menggelinding, lalu duduk dengan menumpukan punggungnya pada tiang basket.
"Gue capek"
Aku menatap lamat-lamat raut wajah Putra yang tiba-tiba berubah 180° derajat. Wajahnya yang awalnya menakutkan, sekarang berubah sendu. Ditambah, sepertinya ia akan mencerikan apa yang sedang bergemuruh dalam batinnya, entah alasan apa yang membuatnya memutuskan untuk menceritakannya padaku. Dia orang yang sulit ditebak.
"Gue jadi kangen Bunda"
Aku duduk disampingnya, urung menanyakan "kenapa". Lebih memilih membiarkan setiap kata meluncur perlahan dari mulutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memeluk Bintang Jatuh
Teen FictionYang hampa biar terbang, yang bernas biar tinggal Yang tidak berguna biarlah hilang, tetapi yang baik biarlah tinggal Dan di sini, aku sebagai yang "tidak berguna" Namun katanya, "yang baik biarlah tinggal" Maka aku tinggalkan perasaanku untuk dijag...