1·8

17 7 0
                                    


*Masih Putra POV

Hari ini tanggal merah, libur nasional.

Dan "libur" dari semua kata-kata menohok yang keluar dari mulut Ayah.

Pagi-pagi, saat aku baru selesai memasak sarapan—itu sudah menjadi rutinitas ku tapi belum tentu Ayah akan memakannya. Ada yang mengetuk pintu dan saat kubuka, sekawanan polisi berseragam abu-abu langsung menyapa iris mataku.

"Kamu Putra, kan? Mana Ayahmu?" salah seorang polisi yang kukenal sebagai kolega kerja Ayah bertanya padaku.

Aku mengangguk untuk kemudian mengantar koleganya itu ke ruang tamu.

Saat aku mengunjungi kamar Ayah untuk memanggilnya, aku melihat Ayah yang masih mengenakan sarung tertidur di meja kerjanya. Membuat teh hangat yang kubuatkan untuknya tak lagi mengepul. Singkat cerita, aku membangunkan Ayah dan Ayah segera membasuh wajahnya setelah tahu ada yang menunggunya.

"Selamat pagi, Pak Indra" sapa kolega kerjanya. Ayah hanya membalas sapaan itu dengan senyuman.

"Maaf, Pak Indra harus kami tahan karena Bapak menjadi tersangka atas kasus pembunuhan tiga pria dewasa dan seorang gadis remaja"

Raut wajah Ayah langsung berubah 180°.

"Informasi ini...apakah valid?" Ayah masih berusaha meyakinkan dirinya bahwa tuduhan itu tak benar dan hanya mimpi.

Ya, itu hanya mimpi, Ayah. Mimpi yang sangat nyata.

"Benar, Pak. Berikut buktinya..." kolega kerja Ayah itu memaparkan beberapa bukti yang begitu kuat hingga Ayah tak bisa membantahnya.

"Mohon maaf sekali lagi, Pak Indra harus kami tahan untuk penyelidikan lebih lanjut"

Sekejap, dua polisi lainnya dengan sigap meringkus tubuh Ayah dan memborgol tangannya. Ayah memberontak, namun sekuat apapun Ayah memberontak, satu orang akan kalah melawan dua orang.

Lihat, apa sekarang Ayah masih ingin menyangkal jika ini semua hanyalah mimpi? Atau sebuah cerita fiksi?

Sebelum Ayah masuk ke dalam mobil, aku bisa menangkap ekspresi Ayah yang sedang menatapku penuh selidik. Sebuah tatapan "menuntut penjelasan".

Aku terus memperhatikan kawanan polisi itu hingga hilang dari pandanganku, baru aku masuk ke dalam rumah. Sampai di dapur, aku melihat sepiring sajian nasi goreng yang memang sengaja aku masak untuk diriku sendiri. Karena aku tahu, Ayah akan ditangkap atas tuduhan yang memang sengaja kurancang. Atau jika Ayah ingin melihat laporan tuduhannya, Ayah tak akan menemukan namaku sebagai pelapor karena aku sudah menggantinya dengan sebuah nama karang-karangan.

Maaf Ayah. Aku sudah tidak bisa mengendalikan diri.

***

Sepeninggal Ayah, aku juga bersiap meninggalkan rumah untuk memastikan satu hal.

Pemakaman Aurora.

Soal pemakamannya di mana, aku bisa mengetahuinya dari grup-grup chat pada ponsel Aurora yang kuambil semalam. Mereka akan melihat Aurora tetap "offline", karena aku sudah men-setting nya sedekemian rupa.

Tak terlalu jauh, maka aku memutuskan mengendarai skateboard menuju pemakaman yang akan dilaksanakan pukul delapan pagi.

Nampak orang-orang yang mungkin adalah sanak saudara Aurora yang telah berkumpul menghadiri pemakaman. Aku hanya akan memperhatikan pemakaman Aurora dari jauh, dari balik sebuah pohon.

Prosesi pemakaman Aurora pun dimulai. Begitu mobil duka datang, jasad Aurora langsung dikebumikan. Orang-orang yang mengiringi jasad Aurora memperlihatkan tangis duka, termasuk seorang wanita paruh baya yang berada di garis terdepan.

Memeluk Bintang JatuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang