—FLASHBACK ON
Tak ada yang istimewa dari pertemuan pertama kala itu. Hanya berawal dari seseorang yang tak sengaja bertemu saat orkestra musik.
Mungkin jika Karin tak mengajak pacarnya, Alex, dan Alex tak mengajak temannya, Reiga, aku tak akan pernah tahu bahwa seorang Reiga Affandra Gyan pernah hidup dan mungkin akan menjadi bagian dalam semestaku. Singkatnya begitu.
Karin, dia adalah si pemain biola bersama teman-temannya yang lain. Jurusan psikologi, sama sepertiku. Justru dialah yang memperkenalkanku pada klub musik ini dan mengajaku untuk bergabung. Hingga suatu kali, saat orkestra musikku ke enam kali sejak aku bergabung, Karin memutuskan mengajak pacarnya, Alex, untuk menonton orkestranya.
Aku pun baru diperkenalkannya dengan Alex saat orkestra telah berakhir. Menurut cerita Karin, Alex berasal dari jurusan hukum. Entah bagaimana mereka bisa dekat, padahal mereka berasal dari jurusan yang sangat bertolak belakang. Kalau soal kenal, mereka bisa kenal karena sempat disatukan dalam satu acara sebagai panitia dan disitu mereka berkenalan.
"Lo bawa siapa?" Karin melirik seorang lelaki yang berdiri di samping Alex.
Alex balas menatap seorang cowok jangkung yang berada di sebelahnya, "Reiga, temen SMA gue. Kasian dia, malem mingguan malah galau, mending gue ajak ke sini"
Reiga hanya memutar bola matanya malas, pasrah diejek temannya itu.
Saat itu, kami hanya sekedar bertukar pandang. Tak ada kata-kata hangat sok akrab, atau senyum menggoda. Pun tak ada yang berinisiatif mengenalkan diri lebih dulu, memilih mengandalkan Karin dan Alex sebagai perantara.
Atau lebih tepatnya, belum.
***
Seminggu setelahnya.
Aku menatap pohon akasia yang rimbun yang terlatak di belakang gedung jurursan psikologi. Nampak tenang untuk bernaung dan nyaman untuk bersantai. Jiwa dan raga pun tergerak untuk pergi ke sana, ke tempat yang sepertinya jarang dikunjungi orang-orang. Tempat yang pas untuk merehatkan pikiran setelah melalui aktivitas perkuliahan yang padat, begitu pikirku.
Sayangnya aku bukan orang yang pertama kali tahu tempat itu. Sebab saat aku tiba, sudah duduk seorang lelaki yang serasa tak asing bagiku. Sepertinya kami pernah bertemu sebelumnya.
Oh, bukankah dia lelaki yang diajak Alex menonton orkestra musik kami tempo lalu? Siapa namanya? Re..Rei..
"Lo cewek yang kemaren gak sih? Yang di orkestra?" dia lebih dulu menyadari keberadaanku. Aku yang sudah terlanjur balik kanan mau tak mau menoleh, menatap pemuda yang sedang duduk berteduh di bawah pohon, bertemakan sebuah buku referensi tebal.
"Eh, lo ngomong sama gue?" Aku bertanya gugup.
"Cuma lo orang selain gue disini"
Aku merutuki pertanyaanku yang bodoh. Namun sepertinya lelaki itu tak peduli, kembali fokus pada buku referensi tebalnya.
Seketika hawa canggung mengisi celah-celah waktu di anatar kami. Fungsi otak dan saraf gerakku saat ini pun seketika menjadi tak sinkron, otak sudah memerintahkan pada saraf gerak agar segera angkat kaki dari sini dan entah atas dorongan apa kakiku enggan untuk pergi.
"Lo sebenarnya mau ngapain sih? Lo kalo mau disini juga gak papa, gue gak bakal ganggu lo, asal lo gak gangguin gue" lelaki itu nampaknya mulai geram melihatku hanya berdiri disitu tanpa melakukan apapun, bahasa kasarnya: bak orang bodoh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memeluk Bintang Jatuh
أدب المراهقينYang hampa biar terbang, yang bernas biar tinggal Yang tidak berguna biarlah hilang, tetapi yang baik biarlah tinggal Dan di sini, aku sebagai yang "tidak berguna" Namun katanya, "yang baik biarlah tinggal" Maka aku tinggalkan perasaanku untuk dijag...