Raga

260 48 1
                                    

Jeongguk menjatuhkan asal tas sekolahnya. Tak terlalu perduli toh di dalam sana hanya ada satu buku dan pulpen entah itu milik siapa.

Matahari belum sepenuhnya naik namun dirinya sudah berada di tempat entah berantah ini, bukannya duduk manis di bangku sekolah menunggu guru.

Ia madol, pergi dari rumah memang untuk sekolah namun sebenarnya ada tujuan lain yang ia tempuh.

Tak sengaja saat pulang sekolah menemukan tempat yang sepertinya strategis untuk dijadikan merenung, nyebat, atau mabok sekalipun.

Motornya ia tinggal di dekat jalan sana. Lagi-lagi tak perduli jika ia harus kehilangan motor yang tak seberapa harganya itu.

Yang terpenting ia bisa meneruskan sesi tidurnya yang tadi sempat diintrupsi oleh suara teriakan orang-orang tolol.

"Argh anjing! Udah bangkotan kerjanya berantem mulu!" Seru Jeongguk sembari memandang sebuah danau dengan permukaan air yang jernih.

Di pinggirnya di dikelilingi oleh ilalang tinggi. Semakin terasa nyaman untuknya menjernihkan pikiran.

Namun tak disangka ujung matanya menangkap sosok yang berjongkok tak jauh dari sisi danau. Tentu saja terkejut, ia kira bukan manusia.

Dari gerak-gerik sosok itu barulah Jeongguk bisa bernafas lega jika 100% sosok itu adalah manusia.

"Woy! Lo berak?" Jeongguk berjalan menghampiri sosok yang semakin terlihat jelas, seorang remaja berseragam putih-biru yang itu berarti anak SMP.

"He.. sembarangan."

Sekarang Jeongguk bisa melihat wajah remaja tanggung itu saat dia menoleh barusan.

"Terus ngapain? Madol ya lo?" Jeongguk menyeringai, tahu betul tipe-tipe anak baru gede yang selalu ingin coba-coba. Ya.. walaupun dia juga masih anak SMA tapi ia tentu lebih tua dari remaja di depannya ini. "Masih bocah udah suka madol, mau jadi apa lo nanti."

"Lah kamu sendiri ngapain disini kalo bukan madol?"

"Panggil gua abang." Jeongguk mengalihkan pembicaraan agar tak perlu menjawab pertanyaan itu– yang ternyata menjadi boomerang untuknya sendiri.

Remaja itu berdecak, "sok senior."

"Lo buta? Gak liat gua pake celana apa?" Tanya Jeongguk sedikit sewot, menarik-narik bahan celana abu-abu sekolahnya. "Lagian gua ke sini tuh mau nenangin diri."

"Sama."

"Sama apanya?" Jeongguk kali ini ikut berjongkok di sebelah remaja itu. Terlihat jelas wajah rupawan itu dari samping sini.

"Ya sama, aku juga mau nenangin diri dan kebetulan punya urusan."

"Urusan apa?" Oke catat, hari ini Jeongguk banyak sekali bertanya. Sebuah rekor bagus disaat biasanya ia hanya melamun tak jelas sembari menusuk-nusuk penghapus di bangku paling pojok kelas.

"Kamu yakin mau dengerin? Nanti ganggu waktu santai kamu lagi." Remaja itu akhirnya menoleh memandang Jeongguk.

Sedikit tersentak namun raut wajahnya masih bisa Jeongguk kendalikan. Ia menyadari saat dilihat dari jarak sedekat ini. Ingin berlari namun sudah terlajur mengobrol banyak.

"Kata siapa, yang berhak nentuin ganggu atau engga ya gua. Lo tinggal buka mulut aja."

Remaja itu tersenyum, namun lagi-lagi Jeongguk meneguk ludah–merasa aneh.

"Jadi.. Ibu aku minta cerai ke ayah, katanya udah gak betah sama ayah yang gak mau berusaha. Tapi aku paling tau sendiri gimana ayah berjuang keras buat keluarganya."

NYELEWENG [KOOKV]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang