P.S. DIHARAP PLAY LAGU YANG BIKIN KALIAN NGERASA SEDIH BANGET!!!
Mataku tak bisa berhenti untuk terus-menerus melirik pada meja di ujung sana. Ramai oleh gemuruh orang mengobrol dan sesak karena berbagi udara yang sama di satu ruangan yang tak terlalu luas ini.
Seakan menulikan pendengaran di sekitar, sekarang aku malah menatapnya secara terang-terangan.
Menyaksikan mereka berdua yang dengan cepat mengubah kecupan menjadi lumatan panas. Mengundang beberapa orang di meja itu untuk berteriak heboh dan melemparinya dengan kulit kacang.
Kulihat tangan prianya menarik semakin dekat tengkuk si wanita. Tak ada rasa canggung dan penuh kelembutan. Berbeda sekali saat tangan itu berada di atas kulitku. Memberi jejak dan luka yang tak akan mengering dengan cepat.
Aku menarik napasku melalui mulut, menahan sesak yang naik ke pangkal hidung. Mata pria yang semula terfokus pada apa yang tersaji di hadapannya kini memandang balik padaku.
Mata kami bertemu, aku yakin jika dia tahu aku duduk di ruangan yang sama dengannya. Semakin tergambar jelas diraut wajah yang kini tampak menyeringai disela-sela kesibukan mengecupi leher jenjang si wanita. Seakan pamer padaku jika dia bisa menyentuh siapapun wanita yang diinginkannya di depan teman-temannya.
Tak seperti seseorang yang selalu ia jamah dan rengkuh setiap malam tanpa diketahui oleh siapapun. Gelap dengan apik menutupi semua rahasianya.
Tak membiarkan dunia luar tahu jika dia telah menorehkan begitu banyak derita.
Aku sangat sadar jika aku bukan seorang wanita yang harus diperlakukan bak ratu semalam, namun tetap saja setiap cambukkan akan berbekas di atas daging dan di dalam hati.
Ingin sekali rasanya menyudahi pandanganku, namun matanya memaku erat-erat. Tak membiarkan aku sekedar mengedip untuk meluruhkan denyut mengganggu di dalam dada.
Sekali lagi dia berhasil memaksaku untuk patuh pada ultimatumnya. Seakan dipaksa mati namun raga masih harus terus bergerak.
Satu garis air mata kurasakan meluruh pada pipiku. Tak mengedip untuk menyingkirkan genangan dan bayangan kabur, kubiarkan jatuh pada jemari yang mengepal erat di atas pangkuan.
Aku, Kim Taehyung tak pernah menyangka dan tak ada di bayanganku jika menjadi kekasih diam-diam dari seorang Jeon Jeongguk akan semenyakitkan ini.
"Apa?" Suaraku terdengar serak karena tangis yang sedari tadi mati-matian aku tahan.
Secara tiba-tiba pandanganku mengabur, setelah itu yang aku lihat adalah keseluruhan wajahnya. Oh, kali ini dia menjambak rambutku untuk mendongak.
"Bicara yang sopan padaku, brengsek." Rahang tegas itu mengejang. Tak ada sisa-sisa kelembutan yang aku lihat tadi saat dia bersama wanitanya.
Aku memejamkan mata sejenak, merasa miris pada keadaanku. "Aku harus bagaimana lagi, Jeongguk?" Jujur hari ini aku merasa lelah, lelah dengan pekerjaanku dan juga pria yang ada di depanku saat ini.
"Kau marah?" Bukan menjawab pertanyaanku, dia kini melontarkan pertanyaan baru.
Jika di cari jawabannya, sudah tak ada kekuatan lagi untuk merasa marah. Hanya bisa menatap mata tajam itu dengan mata lelahku. Memohon untuk menyudahi dan berhenti.
"Ah, aku tahu. Kau tak suka aku dekat dengan wanita itu, kan?" Senyum yang terasa memuakkan bagiku terukir di wajah yang dulu kuidamkan.
"Hei?!" Dia kali ini berseru padaku, tangannya dengan ringan menampar pipiku. Mungkin untuk mengembalikan fokusku yang hanya bisa terdiam.
"Kau marah padaku?" Tamparannya semakin terasa perih.
"Taehyung Kim!" Tamparan ketiga sukses membuat wajahku terlempar ke arah samping. Perasaan ini tak asing lagi bagiku. Entah berapa ribu kali telapak tangan itu melayang padaku, tak menghitungnya pasti.
Tapi yang pasti aku ingin ini secepatnya selesai. Tak ada lagi hari esok untuk aku dan pria ini. "Jeongguk.."
Tuhan, haruskah?
"Mari berpisah."
"Baiklah." Aku mendengar tanggapan dari kalimat yang berusan ku ucap. Jeongguk menyetujui dengan mudah keinginanku. Tak peserti biasanya–
"Itu kan kalimat yang ingin kau dengar?" Senyum meremehkan ditujukan padaku. "Kau pikir bisa lari dariku?"
Tangan besar itu kulihat menarik lengan atasku, membawaku kasar untuk merapat padanya. Dia menunduk. "Jalang yang berusaha melepaskan diri akan selamanya menjadi jalang."
Sapuan napas hangat pria itu menerpa wajahku. Namun yang terasa justru sepeti ribuan tusukan mematikan.
"Jadi Taehyung, tetap diam di belakang dan turuti saja semua ucapanku."
"Tak mau." Aku seketika merapatkan belahan bibir menahan ringisan saat tangan itu semakin meremas keras. Menyalurkan langsung ketidaksukaan akan kalimatku barusan. "Kau yang membuatku seperti jalang! Kau yang memaksaku untuk berlutut di antara kedua kakimu disaat aku ingin berjalan berdampingan bersamamu."
Ya, sejak dulu aku amat sangat menyukai pria perparas tampan ini. Mengungkapkan dengan keberanian dan memberikan cinta sepenuhnya pada Jeongguk.
Dulu, sangat dulu sebelum Jeongguk memberikan rasa pekat dan hitam sebagai balasan atas cintaku.
"Cukup Jeongguk, rasanya lelah sekali." Aku menatap nanar mata itu yang entah memancarkan apa. Mencoba melepaskan cengkraman di lengan atasku yang kini terasa kebas dan nyeri.
"Aku pamit." Gumamku hampir tak ketara. Berbalik arah saat dirasa tangan besar itu sudah tak lagi mencengramnya. Berusaha tak berbalik untuk melihat pria yang tak akan aku temui lagi dalam waktu yang cukup lama nantinya.
Namun satu tarikan keras membuatku mundur seketika, tangan besar itu menutup mulutku erat. Menyeret tanpa butuh tenaga tubuh ringkihku untuk masuk ke dalam mobilnya.
Aku melupakan satu fakta penting yang seharusnya aku ingat baik-baik, jika seorang Jeon Jeongguk sangat membenci sebuah penolakan.
Sekali lagi berhasil memaksaku untuk jatuh pada lembah kotor bernama dosa.
-Tamat-
Maap lagi dengerin lagu sedih tapi di library sama bookmark gak ada bacaan angst atau sad jadi bikin penyakit sendiri wkwkwk