"Eh Bar, tumben pagi banget." Sapa suami dari Rumi saat melihat kedatangan Bara di pintu gerbang. Kegiatan mencuci mobilnya dihentikan sejenak.
"Om Barbara!" Teriakan nyaring khas anak kecil menggema di parkiran depan rumah mereka. Wajahnya penuh antusias melihat om ganteng-nya datang lagi.
Bara tersenyum sembari menghampiri anak kecil 5 tahunan dan pria yang kini lumayan dekat dengannya selama insiden dahulu. "Iya nih mau pergi. Raden belum bangun ya?"
Tangannya menggusak helai rambut si kecil dengan jahil. Terkekeh setiap kali mendengar panggilan Uci padanya. Padahal Jeongguk sudah pernah bilang jika nama itu lebih terdengar seperti nama panggilan untuk anjing peliharaan, tapi apa daya ia tak bisa banyak melawan bocah menggemaskan itu.
"Kayaknya udah tapi cuma ngambil makan doang abis itu masuk kamar lagi." Pria yang biasa dipanggil Tito itu kembali melanjutkan kegiatannya. "Masuk gih."
"Ayah Uci mau ikut Om."
"Ikut Ayah aja, kalau kamu ikut nanti Mas Aden nangis lagi. Nanti matanya keluar, Uci mau?"
"Ih mana bisa seperti itu Ayah."
"Bisa dong, ini kayak gini."
"Ayah seram tahu!"
Ia mengangguk setuju, masuk meninggalkan ayah-anak itu dan langsung berpapasan dengan ibu dari Raden. Mengambil tangan untuk disalimi dan mengikuti wanita berumur itu ke bagian dapur.
"Sarapan belum? Nasi gorengnya masih ada, tadi Raden cuma ambil dikit."
"Boleh deh, kayaknya bubur doang gak bikin kenyang." Lalu tak lama menerima sepiring nasi goreng dengan suwiran daging ayam di atasnya.
"Bukan gak bikin kenyang tapi perut kamunya saja yang perlu nasi. Sama seperti Bapak tuh, pasti pagi-pagi ribut cari nasi kuning."
Ibu membuat satu cangkir kopi panas untuk Jeongguk dan di cangkir lain berupa teh hangat untuk anaknya sendiri. Salah satu kegiatan pagi yang perlahan menjadi sebuah kebiasaan semenjak kedatangan tak terduga Bara di keluarga mereka.
"Ibu kalo saya ajak Raden keluar negeri boleh?"
Yang dipanggil ibu melirik sekilas wajah Jeongguk, tangannya masih sibuk mencuci sisa piring sarapan tadi.
"Rencananya masih sama toh? Percuma saja, ada izin dari Ibu atau tidak tetap gak bisa bikin hubungan kalian halal dimata hukum dan agama."
"Tapi setidaknya kami punya surat-surat resmi." Jeongguk mengerti. Mau sebagaimanapun terbukanya pikiran orangtua Raden, tetap akan terasa berat melepaskan anak laki-laki satu-satunya mereka untuk diserahkan pada laki-laki lain.
"Balik lagi, Ibu ikut bagaimana Raden saja. Dia itu kan susah luluhnya, kalau kata Ibu boleh tapi anaknya geleng-geleng mau bagaimana?"
Jeongguk merasakan nada lemah di kalimat Ibu barusan. Mungkin terlalu lelah pula oleh serangkaian musibah yang menimpa salah satu anggota keluarganya. Pertama kecelakaan, proses hukum yang mengharuskan beliau bulak-balik mengunjungi kantor polisi dan pengadilan, kesembuhan anaknya serta yang terakhir kegagalan pernikahan yang sudah direncanakan hampir 97%.
Lalu belum lagi menghadapi sikap diam Taehyung yang akhir-akhir ini semakin parah setelah panggilan telepon dengan Kinasih.
Dilihat Uci-lah yang menjadi penguat di dalam keluarga ini. Obat penghilang rasa letih setelah seharian bergelut dengan berbagai masalah. Anak sok tahu itu selalu punya banyak cerita untuk diceritakan kembali dengan sangat antusias.
"Itu sebabnya saya dateng pagi-pagi. Mau mulai bujuk Raden."
"Bujuk pakai apa?" Ibu memandang tak takin. Menantikan dan siap mengejek saat mendengar jawaban dari Jeongguk.