5. Petra Book

72 21 9
                                    

Gabriella Amidalla, Nabila Balqis, Lucy Horeil, Zelanis Anathema.

Keempat gadis itu kini telah menginjakan kaki mereka di depan pintu besar setinggi 10 m. Dua orang prajurit dengan tombak dan perisai ditangan nampak sedang bersiaga di samping pintu besar itu. Terlihat ada beberapa pelayan tengah membawa manik-manik perhiasan berwarna biru muda mengkilap.

Mereka berempat segera meminta dua prajurit yang sedang bersiaga untuk membukakan pintu besar untuk mereka. Dengan rasa penuh hormat, kedua prajurit itu langsung membukakan pintu besar tersebut.

"TRKK TRKK TRKKKK!" suara gesekan pintu terdengar keras menggema menggetarkan puing puing bangunan diatasnya.

Di dalam ruangan nampak beberapa dayang-dayang tengah mendekor ruangan dengan manik-manik biru ditanganya. Wangi harum dari manik-manik yang ditempelkan menghiasi seluruh isi ruangan, beberapa dekorasi berwarna emas mengkilap ditempelkan di atas dinding untuk mewarnai keindahan. Sebuah baju dengan balutan permata terlihat sedang di pasang ditengah ruangan, seperti dibuat khusus untuk digunakan seseorang.

Keempat gadis itu lalu mulai melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruangan indah di hadapan mereka. Tiga gadis kecil nampak sangat terpukau dengan apa yang mereka lihat sekarang, berbeda dengan gadis berambut hitam yang berdiri paling samping. Ia nampak datar, tidak ada gejolak sedikitpun dari dalam hatinya untuk merasa kagum melihat dekorasi yang dibuat khusus untuknya itu.

Keempat gadis itu berjalan beriringan memasuki ruangan, melenggokan kepala mereka kekanan dan kekiri, tidak ingin melewatkan keindahan dekorasi luput dari pandangan mereka. Sangat asyik melihat-lihat mereka sampai tidak sadar ada seseorang yang tengah memanggil mereka. Seorang pria tua berjanggut putih panjang dengan pancaran karisma yang terlihat dari cara nya berjalan.

"Selamat pagi anak-anak." sapa orang itu.

Keempat gadis itu menolehkan kepalanya bersamaan ke arah suara yang ada di belakang mereka.

"KAKEK ARGUS?!" Balqis menyaut.

Anak-anak jaman sekarang, seorang mentri besar yang bahkan bukan seorang kerabat dekat mereka. Tetapi mereka berani memanggil beliau dengan sebutan kakek? sungguh ajaib.

Argus hanya tersenyum kecil melihat tingkah anak-anak di depan yang terlihat sepantaran dengan anaknya itu. Ia tidak keberatan di panggil dengan sebutan kakek.

Argus mengamati keempat gadis dihadapanya, ia mengamati satu-persatu sampai ia terpaku dengan seorang gadis yang berdiri paling samping.

"Aku sudah menunggu kehadiranmu tuan puteri." ucap Argus melirik ke arah Gaby.

Gaby yang sedari tadi menundukan kepala kini sontak mengangkat nya, lamunan nya membuat ia tidak sadar dari tadi dia sedang berhadapan dengan menteri besar Dardania. Ia lalu dengan cepat membungkukan badan nya lalu meminta maaf.

"Maafkan aku perdana mentri." ucap Gaby dengan membungkukan badanya.

Argus tersenyum, attitude yang memang seharusnya dimiliki oleh seorang putri kerajaan.

Ketiga wanita disamping Gaby nampak melihat satu sama lain dengan wajah yang bertanya-tanya, mereka linglung dengan apa yang baru saja mereka lihat. Mereka lalu berinisiatif untuk membungkukan badan mereka juga kearah Argus Appleford.

"Ee..ee.." Suara Lucy terbata-bata, ia tidak tahu apa yang harus ia ucapkan. Tidak punya pilihan, ia segera menepuk lengan Balqis dengan harapan temanya ini dapat menggantikanya untuk mengucapkan sepatah kalimat.

Balqis yang menyadari hal itu nampak tidak punya pilihan lain, dengan cepat ia lalu mengucapkan salam ke arah Argus Aplleford.

"Selamat pagi juga perdana mentri." ucap Balqis mewakili keduanya, mereka membungkukan badan mereka.

Savior Of Petra : The Charioteer's SonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang