2

2K 110 3
                                    

Bismillah

"Istriku Kuyang"

# part_2

#by: Ratna Dewi Lestari.

Bulu kudukku seketika merinding, kutatap toilet yang berjarak sekitar lima puluh meter dari tempatku berdiri. Suasana malam yang gelap, hanya ada lampu lima watt di belakang dan toilet. Ingin rasanya aku pipis di tempat saja. Rasa takut kian menyergap.

Aku belum terbiasa berada di tempat sesunyi ini. Apalagi di sekitar tumbuh pohon-pohon tinggi menjulang. Kelebatan kelelawar malam seolah menambah suasana mencekam. Angin malam yang dingin membuatku bertambah enggan beranjak dari tempatku berdiri.

Beruntung malam ini bulan bersinar amat terang. Cahayanya berpendar sangat indah. Ku beranikan diri melangkah dengan melipat tangan di dada. Dingin. Sambil mataku menatap sekeliling.

Krekkkkk!

Dengan segera kubuka pintu toilet. Sudah sangat sesak. Dan lega.

Byurrrrr!

Bukkkkk!

" Astaga, apa itu!" tak sengaja bibirku terucap mendengar sesuatu jatuh menghantam atap rumah. Aku segera menyelesaikan kegiatanku dan berjalan keluar dari toilet.

Mataku menatap sekeliling. Tak ada apapun. Ku kira buah yang di bawa kelelawar jatuh menimpa rumah, tetapi tak ada nampak satu buahpun terjatuh di sana. Sedang asyik mataku mencari sambil menunduk, tiba-tiba ...

Plukkkk!

Sesuatu menepuk pundakku. Aku langsung berdiri dengan kaki gemetar. Dengan pelan kubalikkan tubuhku dan kulihat seseorang berdiri di belakangku.

"Arini?" ucapku lirih.

"Ya, Bang, ini aku, Abang ngapain di sini?" ucapnya.

"Abang habis dari toilet. Kamu dari mana saja? Abang cari-cari dari tadi!" sungutku sedikit merajuk.

"Aku tadi di ruang tamu, Bang. Abang aja yang ga lihat aku di sana!" jawab Arini cuek. Ia membalikkan badan dan masuk ke dalam rumah.

Akupun mengikutinya dari belakang. Aneh, perasaan tadi tak ada siapapun di ruang tamu. Apa aku ngelindur?

Kakiku terasa beku ketika ku angkat naik ke peraduan. Arini menatapku sekilas dengan senyuman teramat manis untukku. Entah kenapa aku merasa ada misteri di balik senyum Arini untukku. Bibirnya kulihat merah merona. Tapi, ada sesuatu yang terlihat mangganjal di situ. Ada setitik noda di dekat bibirnya. Makan apa dia malam-malam begini?

"Dek, sini!" panggilku menyuruhnya datang mendekat.

"Apa, Bang?" ia pun mendekat.

Kuseka noda di bibirnya. Kuperhatikan secara seksama. Noda itu lengket dan berbau anyir. Darah?

"Darah apa ini, Dek?" selidikku.

"Da--darah?" ucapnya tergagap.

"Ah, sudahlah, Bang! Adek tak tau juga itu kenapa bisa di bibir Adek," jawabnya sekenanya. Ia langsung membalikkan badan dan membiarkanku terdiam dalam sejuta pertanyaan di benakku. Ya, akupun malas berdebat. Tubuhku sudah lelah karena seharian bekerja. Aku memutuskan untuk kembali beristirahat dan membiarkan pertanyaan itu menguap begitu saja.

***

Matahari baru saja menampakkan sinarnya ketika aku selesai menjalankan kewajibanku menunaikan solat subuh. Anehnya Arini enggan bila ku ajak solat bersama. Ia selalu menolak. Jikapun solat, ia pasti mengunci pintu dengan rapat. Semakin ke sini semakin banyak keanehan di diri Arini.

"Bang? sarapan dulu sini!" Arini melambaikan tangan mengajakku duduk bersama dengannya. Hanya kami berdua . Adiknya sudah berangkat sekolah. Kedua orang tuanya sudah berangkat ke ladang.

Ku tatap Arini dengan seksama. Ia tampak sangat cantik. Wajahnya tambah bersinar padahal belum memakai make up. Yang kutahu ia tak memakai skincare mahal. Hanya memakai viva. Itu yang sempat ku baca.

"Dek, semakin hari kamu tampak semakin cantik," pujiku tulus.

"Terimakasih Bang, mungkin karena terlalu bahagia menjadi istrimu," jawabnya sembari mengecup tanganku . Genggamannya erat.

Seharusnya aku bahagia dengan ucapannya. Namun, entah mengapa aku merasa Arini menyembunyikan sebuah kebohongan. Ku ulas sedikit senyum agar ia tak curiga .

Jam delapan tepat aku dan Arini sudah berada di dalam mobil yang berjalan dengan kecepatan sedang.

"Bang--Bang, berhenti dulu! cepat!" Arini tiba-tiba menyuruhku berhenti di depan sebuah warung sayur yang penuh dengan ibu-ibu.

"Tunggu sebentar, Bang . Ada yang mau aku beli," ucapnya tergesa seraya turun dari mobil.

Dari jauh kulihat ia mengobrol dengan asik. Ia sangat ramah. Aku pun memutuskan untuk turun dan menjemputnya. Aku takut terlambat bekerja.

Kulihat Arini sedang asik berbincang dengan seorang ibu hamil. Yang kudengar dari percakapan mereka jika ia sedang hamil sembilan bulan. Tinggal menunggu lahiran.

Sekilas kutatap wajah Arini sangat bahagia berbincang dengan si ibu. Ia pun sempat mengelus perut si ibu hamil. Apa Arini sudah tak sabar ingin punya anak?

Ia pun sempat enggan ketika ku ajak kembali ke dalam mobil dan melanjutkan perjalanan. Kulihat ia sempat cemberut ketika berpamitan.

***

Seperti biasa, malam ini kami lembur kembali. Pulang kerumah keadaan sudah sepi. Aku memutuskan untuk segera istirahat tanpa mandi. Begitupun Arini. Kami sama-sama terlelap karena sangat kelelahan.

Krekkkkk!

Entah berapa lama aku tertidur . Tak sengaja terbangun karena mendengar pintu belakang seperti terbuka. Ya, sedari kecil aku memang gampang bangun jika mendengar sesuatu.

Ku balikkan badan, Arini masih terlelap. Aku penasaran siapa gerangan yang membuka pintu belakang? Ah, mungkin itu ibu atau ayah Arini yang ingin ke toilet.

Shhhhh! Shhhhh!

Sekilas ku dengar seperti desisan ular di balik jendela. Rasa penasaran menyergap hatiku. Apa benar malam-malam begini ular berkeliaran mendekati kamarku?

Aku pun turun dari peraduan menuju jendela kamar. Perlahan kusibak gorden jendela.

"Astagaaaaa!" segera ku tutup mulutku begitu melihat sosok di balik jendela . Sosok bermata merah itu tajam melihatku. Sempat beberapa detik kami bertatapan hingga akhirnya aku pingsan tak sadarkan diri. Sebelum akhirnya ...

Bang, Abang!" suara Arini terdengar nyaring di telingaku. Kurasa tetesan air jatuh di pipiku. Perlahan kubuka mataku, samar-samar kulihat Arini sedang terduduk mendekap tubuhku. Ia kemudian mengangkat kepala dan menatapku dengan pipi yang sudah basah. Mata nya bengkak.

"Abang--Abang Yusuf tak apa-apa, kan?" isaknya. Tangannya yang terasa dingin mengusap pipiku lembut.

"Abang, ga kenapa-kenapa, Dek," ucapku berbohong. Masih teringat jelas sosok menyeramkan yang menatapku tajam di balik jendela.

Sosok bermuka keriput dengan rambut acak-acakan, menyeringai seperti ingin menyantapku. Lidahnya panjang terkilir keluar. Benar-benar menakutkan.

"Abang kenapa bisa di sini?" tanya Arini khawatir.

"Mungkin Abang ngelindur, Dek," ucapku sekenanya.

"Abang hari ini di rumah aja, ya Dek. Badan Abang ga enak, kayaknya demam," lanjutku.

Ia mengangguk cepat. " Adek pergi naek ojek bang Salim tetangga kita aja ya, Bang. Abang baik-baik di rumah," ucap Arini seraya mengecup keningku. Ia pun membantuku beranjak dari lantai dan berbaring di peraduan.

Aku merebahkan diri di atas ranjang. Kepalaku masih sangat pusing, tapi rasa penasaranku kian membuncah. Perutku keroncongan. Sakit. Namun semua kutahan, dan ketika Arini pergi...

isteriku kuyangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang