Bismillah
"Sebuah keanehan terjadi saat terakhir ibunya Arini mengelus perut anakku yang membuncit. Ia bertingkah biasa seperti ibu-ibu pada umumnya, mengelus dan mengucapkan doa. Ternyata semua itu hanya kedok belaka. Malamnya Sinta mengeluh sakit perut, wajahnya berubah pucat dan tak lama ia menghembuskan nafas terakhir nya. Disaat itu tak sengaja mataku mengarah ke jendela. Di sana nampak wajah ibu Arini sedang tersenyum puas dan begitu melihatku, ia terbang menuju rumahnya,"
"Selama ini aku berpura-pura tak tahu. Namun, di hatiku menyimpan dendam yang membara. Tak akan lekang dimakan usia. Itulah mengapa aku begitu gencar untuk menolongmu, aku mohon kau bisa membalaskan dendamku!" pinta si Ibu warung dengan berderai airmata.
"Baik, Bu! kekejaman mereka harus segera kita hentikan!" jawabku dengan mengangguk setuju.
"Mari kita susun rencana, nanti malam kita laksanakan rencana itu!" ajak Ibu warung.
***
Malam hari ketika semua orang sudah tertidur, dengan perasaan sedikit was-was aku melangkah mengendap-endap menuju rumah Arini, membawa penangkal bawang putih agar Arini tak mencium keberadaanku.
Suasana gelap tanpa bintang dan bulan. Mendung menggelayut di langit malam. Angin semilir dingin menusuk hingga ke tulang. Kilatan cahaya di langit menambah suasana angker. Bunyi menggelegar memecah langit membuat diriku terkadang bergidik, ragu.
Ku tatap rumah Arini dari jauh, takut jikalau Arini tiba-tiba datang dengan kepala dan ususnya. Aku masih sangat trauma melihat jeroannya yang menggantung, membuat perutku mual dan ingin muntah.
Suasana rumah tampak sangat sepi. Seperti tak ada aktifitas di sana. Kemungkinan semua dalam keadaan terlelap.
Seraya mengendap, kulangkahkan kaki menuju jendela kamar Arini. Samar kulihat Arini sedang tertidur pulas. Tak nampak sesuatu yang mencurigakan. Lama ku perhatikan sekitar satu jam, kakiku pun sudah sangat pegal. Tiba-tiba ...
Arini bangun dan beranjak dari peraduannya. Ia melangkah menuju pintu, ia kemudian berdiri di belakang pintu dan menghadap ke arahku. Beruntung sepertinya ia tak tau kehadiranku , karena kepalaku merunduk, hanya sebagian kepala yang nampak samar.
Ku lihat Arini komar-kamit seperti membaca mantra. Kepalanya kemudian memutar dan bergerak ke kiri dan ke kanan. Ku dengar dengan sangat jelas bunyi seperti tulang yang patah.
Kretek! Kretek!
Tak lama mata Arini berubah merah seperti darah, ia mengerang. Tubuhnya bergetar hebat. Dan kemudian ....
Wuzzzzzzz!
Kepala Arini terlepas beserta usus dan jeroannya. Di dekat hatinya nampak sinar seperti lampu led berwarna merah kerlap-kerlip.
Kepala itu mengambang mencari celah. Aku menutup mulut tatkala kepala Arini terbang melesat di atas kepalaku. Jantungku rasanya berhenti berdenyut melihat pemandangan ngeri di depan mataku.
Kepala Arini terbang melayang melesat membelah langit malam. Ia terbang tinggi entah kemana. Tubuhnya ia biarkan begitu saja teronggok di belakang pintu.
Ada perasaan ngeri melihat tubuh tanpa kepala itu di depan mataku. Namun, sesuai perjanjian aku dan ibu warung, maka aku harus...
Dengan sedikit keahlianku, perlahan ku jebol paksa jendela kamar Arini. Perlahan namun pasti, jendela itu terbuka tanpa mengeluarkan suara. Aku dengan leluasa masuk ke dalam kamar.
Kaki berjinjit mendekati tubuh tanpa kepala yang kini bersandar di pintu. Kuperhatikan tubuh itu dengan seksama. Amat mengerikan. Tubuh itu utuh tapi dengan kepala yang terpenggal, tengah lehernya berongga.