part 9(season 2)

1.5K 90 8
                                    

TEROR KUYANG "

#Part_1

#by: Ratna Dewi Lestari.

Tanah Jawa, 10 April 2019.

  

        Genap lima tahun lamanya aku meninggalkan tanah kalimantan dengan segudang mistis yang membawaku hingga kini.

       Berbagai pertanyaan menghinggapi relung jiwaku sampai saat aku bertemu dengan belahan jiwaku yang baru. Andini yang biasa ku sebut Dini. Dini, gadis jawa asli berperawakan hitam manis dengan bulu mata yang sangat lentik. Ia sangat baik dan sopan membuat kedua orang tuaku jatuh hati dan tak sabar menjadikannya menantu sebagai pengganti Arini yang sudah pergi.

      Perkenalan pertama kami di suatu resto membuat hatiku tak menentu. Senyumnya yang manis dan tatapannya yang sendu membuatku jatuh cinta saat pandangan pertama. Bak gayung bersambut, ia tak keberatan memberikan nomor telpon saat itu.

    Tak menunggu waktu lama, intens berhubungan via udara dan bertemu, membuat nyaman dan desir-desir cinta semakin kuat. Ia yang saat itu berumur kurang lebih dua puluh tiga tahun tak keberatan dipersunting olehku yang berumur hampir kepala tiga. 

     Kini, aku dan Dini sudah resmi menyandang status sebagai suami dan istri. Dini pun sudah mengandung buah cinta kami yang kini menginjak usia empat bulan.

     Di usia kandungan Dini yang masih terbilang muda, perusahaan menugaskanku untuk mengelola cabang baru di kalimantan. Aku yang sudah bekerja hampir lima tahun di perusahaan yang bergerak di bidang bahan makanan itu di percaya untuk mengelola cabang di sana.

     Butuh waktu untukku menerima pekerjaan itu. Satu sisi mengingat ancaman dan petuah si bapak dan ibu-ibu yang bertemu denganku di arel pemakaman, ingatanku kembali melayang di lima tahun silam, saat aku di paksa terbang kembali ke kampung halamanku. Di satu sisi tawaran yang menggiurkan membuatku ingin segera terbang kembali kesana. Naik gaji hingga empat kali lipat, di tambah pinjaman kendaraan dan rumah free yang di kontrak perusahaan. Uang transport tiap bulan, cuti enam bulan sekali, dan boleh membawa anak istri. Tunjangan anak, kesehatan keluarga dan jenjang karier membuat ku gelap mata. Apalagi saat istriku, Dini memberi semangat dan setuju untuk ikut pindah. Aku seperti mendapat angin segar.

         Namun, semua itu tak semulus perkiraanku. Kedua orang tuaku menentang tegas keinginanku. Mereka tak ingin aku pergi berikut Dini bersamaku. 

        Dini dengan sabar meyakinkan kedua orang tuaku. Ia berjanji akan baik-baik saja dan selalu memberi kabar, hingga kedua orang tuakupun mengizinkan, walaupun hati mereka masih sangat ragu.

        Dan di tanggal sepuluh ini akhirnya kami terbang menuju tanah kalimantan. Tanah dengan sejuta misteri yang membuatku lupa ingatan akan jati diri dan kenangan di waktu lima tahun silam.

        Ku tatap wajah istriku yang manis. Ia sedang tertidur pulas di kursi sebelah. Seketika rasa ragu menyergap hatiku. Aku takut kehilangannya beserta anak yang di kandungnya. 

       Entah kenapa hatiku berkata jika Dini dan anakku dalam bahaya. Ingin kutepis tapi rasa itu kian membayang. Ku kecup perut istriku dan ku ucapkan doa. Semua ku niatkan hanya untuk membuat mereka bahagia. Itu saja.

***

Kalimantan, 11 april 2019

       Rasa lelah seketika menyergap tubuhku. Turun dari pesawat beserta Dini di sampingku . Aku dengan sabar membantu dan menggandeng tangannya mesra. Ia pun tampak bahagia mendapat penjagaan penuh dariku.

       Untuk menghilangkan lelah perjalanan, akhirnya aku memutuskan untuk singgah dahulu di penginapan sebelum akhirnya ke rumah kontrakan yang di sediakan. Jangankan untuk berbenah, berjalanpun aku sudah sangat lelah. Melihat istriku yang tampak lemas membuatku bertambah iba.

        "Kita sewa penginapan dulu,ya ,Dek. Kamu pasti sangat lelah dengan perjalanan ini," tawarku . Ia menatapku sayu sebelum akhirnya menjawab, "iya, Mas, aku ikut aja," disertai anggukan pelan darinya.

        Kami pun akhirnya mencari penginapan tak jauh dari Bandara. Sampai di penginapan yang nampak sederhana itu, aku dan Dini langsung merebahkan badan. Kami pun langsung tertidur dengan perut yang lapar akibat sangat kelelahan.

       Pagi hari esoknya kami terbangun dengan perut yang bersenandung riang. Suara krucukannya membuat Dini tersipu malu. Dini lantas menuju toilet dan kudengar guyuran air di sana. Mungkin ia langsung mandi. Tak lama ia pun keluar dengan menggunakan handuk. Benar dugaanku jika ia baru saja mandi.

     "Ayok , Mas, kamu mandi. Terus kita cari sarapan! Adek dah lapar ni," sungutnya.

     "I--iya, Sayang. Mas mandi dulu, ya," ucapku seraya bergegas menuju toilet untuk mandi dan bersih-bersih.

      Selesai mandi kulihat Dini sudah cantik memakai dress yang menutup sebagian betisnya beserta sepatu kets kesayangannya. Ia menatapku manyun seperti menahan marah.

        "Cepetan, Mas! lama banget sih, lelet!" hardiknya . Untuk pertama kali kulihat dia marah-marah seperti ini. Mungkin akibat terlalu lapar ia jadi tak bisa menahan emosi.

       Tanpa menjawab karena takut Dini bertambah marah dan semua menjadi runyam, akupun segera berpakaian dan segera menggandeng Dini keluar penginapan untuk mencari sarapan.

         "Mas, mau makan apa?" tanyanya ketika kami sudah berada di warung nasi.

         "Terserah Adek aja, mas ikut," jawabku dengan mengulas senyuman semanis mungkin.

           Ia pun memanggil pelayan. Dan tak lama makanan pun datang. Dini begitu lahap menyantap makanannya, sedangkan aku masih terngiang-ngiang ucapan orang-orang lima tahun silam.

          "Kamu kenapa, Mas? makannya ga semangat gitu," seru Dini yang berhasil membuatku terkejut.

          "Ah, ga kenapa-napa, Dek," jawabku berbohong . Seketika dadaku bergemuruhn karena ini kali pertama aku membohonginya.

         "Kamu ga bohong kan, Mas. Matamu berkata lain," selidiknya . Sepertinya Dini menaruh curiga.

         "Nggak , percaya sama Mas," ucapku seraya beranjak dari kursi dan berjalan menuju meja kasir. 

       

       "Meja nomor lima, Buk. Berapa?" tanyaku.

      "Enam puluh ribu, Pak," jawabnya singkat.

      "Ini, Bun," ucapku sembari menyodorkan uang seratus ribuan.

       "Ini kembaliannya , Pak," Ibu itu menyodorkan dua lembar uang dua pilu ribuan. Belum sempat berbalik ibu tadi menghentikan langkahku dengan pertanyaannya .

        "Maaf, Pak, apa Bapak bukan asli sini? logat Bapak berbeda ," tanyanya sopan.

       "Iya , Buk . Saya baru saja sampai, saya dari jawa," tuturku lembut.

       "Oh, iya, Pak. Sekali lagi maaf saya mau bertanya. Apakah istri Bapak sedang hamil?" tanyanya ragu.

        "Iya, Buk. Betul," jawabku singkat.

        "Oh, Iya, Pak. Kalau bisa istrinya di jaga, ya, Pak. Jangan biarin perut nya di elus siapa pun ya, Pak," jelas si ibu lagi.

        Aku mengangguk pelan. Setelah mengucap terimakasih, akupun kembali ke tempat di mana Dini duduk santai sembari menunggu kedatanganku .

      Kamipun segera meninggalkan warung dengan bergandengan tangan . Kata-kata ibu tadi membuatku bertambah dilema . Apakah benar keputusanku untuk tinggal dan mencari nafkah kembali di tanah sejuta mistis ini?

isteriku kuyangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang