Gubrakkkk!
Aku terjatuh tak jauh dari toilet. Kakiku yang basah membuatku terpeleset dan kepalaku terbentur keras di lantai.
"Awwwwww !" pekikku.
Aku sempat memaksa untuk bangun. Namun semua seperti berputar dan menghitam. Semua tampak gelap dan aku tak merasakan apa-apa.
***
"Alhamdulillah, Mas kamu sudah sadar?" sebuah suara wanita terdengar penuh rasa khawatir begitu mataku perlahan membuka . Kepalaku masih terasa berat.
"Arini? kaukah itu?" ucapku begitu mataku menangkap samar-samar sosok wanita yang sedang duduk di sampingku.
"Arini? aku Dini, Mas. Istrimu! Arini sudah mati lima tahun yang lalu!" bentak wanita di sampingku .
Ku tatap wanita itu lekat. Benar, ia bukan Arini. Arini sudah mati? kapan, kapan itu terjadi .
"Ahhhhhhhhhh," pekikku seraya menekan kepala yang terasa sangat sakit. Apalagi jika aku memaksa untuk mengingat Arini dan semua kenangannya.
"Dokter! suster! tolong kami!"seru wanita berkerudung di sampingku sembari berteriak keras.
Drap-drap-drap !
Tak lama dokter dan susterpun datang. Aku segera di suntik. Dan tak menunggu lama aku merasa mengantuk dan kembali tertidur .
***
Sinar matahari yang masuk melalui jendela kamar memaksaku untuk membuka mata. Silaunya benar-benar menyakiti mataku. Ku picingkan mataku dan ku edarkan pandanganku ke sekitar. Ruangan serba putih. Semua dalam balutan putih. Seperti di dalam ruangan rumah sakit. Kenapa aku bisa berada di sini?
Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Seorang wanita muda masuk ke kamar dengan senyum yang terulas lebar. Wajahnya amat sangat bahagia.
"Mas, kamu sudah sadar?" sapanya. Ia lalu mencium pipiku dan memelukku erat.
"Mas kenapa di sini, Dek?" jawabku pelan.
"Mas--Mas ingat aku?" tanyanya. Bola mata nya membesar menatapku . Aku semakin bingung.
"Iya lah, Sayang. Kamu istriku . Andini Wijayanti Kusumaningrum." ucapku mantap.
"Alhamdulillah ... Mas benar-benar ingat aku," pekiknya. Ia semakin erat melingkarkan tangannya di leherku.
"Sa--sakit, Dek," erangku . Ia pun dengan segera melepaskan pelukannya .
"Ma--maaf, Mas," ucapnya cengengesan.
"Dek, Mas kenapa bisa di sini?" cecarku.
"Tadi malam Mas terpeleset di depan kamar mandi. Bertepatan dengan Adek yang teriak minta tolong. Dalam posisi genting itu Adek berlari ke kamar mandi, tapi malah ngeliat Mas sudah tergeletak di lantai ga sadarkan diri," jelasnya.
"Oh, iya. Mas ingat. Kamu kenapa teriak kenceng banget tadi malam,"selidikku.
"Adek teriak kenceng karena Adek ngelihat ...,"
Adek teriak karena adek ngeliat bola api melesat di luar jendela, Mas! ga sengaja waktu mau tutup horden, hiiiii," paparnya sembari bergidik ngeri.
Aku termenung mendengar ucapan Dini, istriku. Sama persis seperti yang kulihat sebelum menutup pintu tadi malam. Tapi, benda apa itu?
Seketika pikiranku terbang ke lima tahun silam. Saat dimana aku hampir kehilangan nyawa karena ingin melarikan diri dari Arini dan Ibunya yang mempunyai ilmu hitam. Ilmu yang membuatnya menjadi seorang kuyang demi menjadi cantik paripurna.
Sebab itu juga aku harus tega membuat Arini terbunuh dengan kepala menghadap ke belakang. Ya, aku ingat semua sekarang. Karena ulahku , mertuaku meradang dan berjanji akan menuntut balas akibat dari perbuatanku yang melenyapkan nyawa anaknya itu.
"Sial, kenapa aku mau kembali ke tanah ini!" sungutku kesal. Jika saja aku ingat, aku tak mungkin mau menerima pekerjaan itu,walaupun upah yang ku terima sepuluh kali lipat dari gajiku saat ini. Aku pasti menolak karena tau nyawa istri,anak dan diriku sendiri kini jadi taruhannya.
"Itu pasti Wingsih, ibunya Arini," celetukku.
"Apa, Mas? Wingsih? ibu Arini? aku benar-benar tak tau maksudmu," tukas Dini. Ia mengernyitkan dahinya keheranan.
"Kita harus pulang hari ini juga,kita dalam bahaya," ajakku. Dini semakin bingung.
"Pulang? bagaimana dengan pekerjaanmu? ga segampang itu resign, Mas! kau punya tanggung jawab di sini," ucap Dini tegas.
"Lagipula, apa yang membuat Mas begitu takut? kita dalam bahaya? kenapa?" cecar Dini semakin ingin tahu.
"Bola api yang tak sengaja kau lihat itu kemungkinan kuyang. Manusia jadi-jadian yang menganut ilmu hitam. Ilmu yang bisa membuat seseorang menjadi sangat cantik, awet muda dan juga kaya. Ilmu itulah yang digunakan Arini untuk menjerat dan membuatku jatuh cinta," jelasku. Dini mendengarkan dengan konsentrasi tinggi. Matanya fokus dan terus menatapku.
"Arini akhirnya tewas ketika badannya yang terkapar Mas terbalikkan. Kepalanya tidak bisa menyatu secara pas dan dia pun meninggal. Oleh karena itu ibunya ingin menuntut balas," paparku lagi.
"Lah, kenapa bisa begitu, Mas? kuyang itu bentuk nya seperti apa, hewan atau bagaimana," selidik Dini. Matanya tetap fokus dan tak berpaling sedikitpun dari wajahku.
"Kuyang itu kepala terbang dengan organ dalam dan usus yang terburai. Pernah baca juga terkadang berbentuk bola api. Ah, entahlah. Mas ngeri membayangkannya. Apalagi saat Arini menjadi kuyang dan tubuhnya dibiarkan di lantai tanpa kepala. Kepalanya terbang kesana-sini dengan wajah menyeringai. Sangat mengerikan, Dek," ucapku seraya bergidik ngeri.
"Ya, ampun , Mas. Seram banget ceritamu itu. Jadi, maksudmu ibu Arini ingin menuntut balas karena kematian Arini yang di sebabkan karena ulahmu? itu sebabnya orang tuamu melarang kita pindah ke sini?" cecarnya. Matanya melotot menahan amarah.
"Lagian kamu,sih. Kenapa harus membuat Arini tewas. Tinggalin aja seharusnya!" Dini malah menyalahkanku.
"Kalau Arini hidup, aku seumur hidup akan dalam cengkeramannya. Aku harus mau menerima bentuknya yang mengerikan. Aku tak mau itu terjadi. Aku takut!" sanggahku. Dini terdiam memdengar ucapanku.
"Ah, sudahlah. Toh dia sudah tewas. Mudah-mudahan mereka lupa dan tak menuntut balas." jawab Dini singkat. Ia pun beranjak dari pinggir ranjang dan tegak menatap keluar jendela rumah sakit.
"Tapi, jika itu memang ibunya Arini, itu bisa sangat membahayakanmu dan anak kita. Ayo kita pergi saat ini juga. Mas akan telpon bi Inah untuk meringkasi barang-barang kita. Mas Mohon, Dek ...," ucapku mengiba.
"Aku tak takut ...," jawab Dini. Ia menatapku tajam.
"Aku akan melawan wanita iblis itu. Bagaimana pun caranya. Jika tidak begitu, seumur hidup kita akan terus dalam cengkramannya," Dini mengepal tangannya. Tak ada sedikitpun berkas ketakutan di mata nya.
Ya, Dini. Istriku yang satu ini selain terkenal dengan kengeyelannya, ia pun sosok yang sangat pemberani.
Aku sempat terkecoh dengan tuturnya yang lemah lembut. Ternyata ia adalah wanita yang tak kenal takut. Ia pun sering ikut berburu makhluk halus bersama tim nya. Dini juga seorang wanita yang suka bela diri.
Semua itu ku ketahui saat sudah menjadi suaminya. Sifat keras kepala inilah yang kadang jadi bumerang di keluarga kecil kami. Hingga aku terpaksa mengalah demi menghindari perselisihan.
"Yang kita hadapi ini bukan makhluk halus biasa. Dia manusia dengan ilmu hitam. Tak akan segampang itu," ucapku pelan.
"Tapi pasti ada penangkalnya , 'kan? kita jangan menyerah sebelum ...,"
Bersambung.....