Bismillah
"TEROR KUYANG"
# part_7
#by: Ratna Dewi Lestari.
POV: Yusuf.
"Mas, kita pulang hari ini, ya? Mas kan udah baikan," ujar Dini begitu masuk keruanganku. Ia sudah tampak sangat rapi pagi ini.
"Yakin kita pulang, Dek? Mas ragu," jawabku pelan.
"Ga usah ragu, Mas. Kita punya Allah," Dini menatapku dengan senyum yang merekah.
Dini. Terkadang istriku ini memang bisa menentramkan hatiku. Namun, dilubuk hatiku aku benar-benar takut hal buruk terjadi padanya.
Dengan cekatan Dini membereskan semua barang-barangku. Perutnya yang mulai membuncit tak menyulitkannya. Ia dengan cekatan menggandengku menuju parkiran rumah sakit dimana taksi online sudah menungguku.
Di sepanjang perjalanan Dini tak banyak berbicara. Ia asik dengan gawainya. Tak nampak rasa takut sedikitpun di matanya.
"Apa kau tau seberapa bahayakah makhluk yang akan kita hadapi ini, Dek?" kucoba membuka percakapan dengannya.
Ia terdiam sejenak. Matanya yang bulat menatapku tajam.
"Dia kan hantu. Tinggal puter ayat al-quran juga bakal pergi," jawab Dini enteng.
"Dia bukan hantu. Dia itu manusia... sama seperti kita. Mas udah bilang berkali-kali. Ga segampang itu," ucapku tegas. Mulai jengkel dengan kengeyelannya.
Dini tak menjawab. Ia kembali memainkan gawainya tanpa mempedulikanku .
"Bapak bicara tentang kuyang?" tiba-tiba pak sopir taxi ikut nyeletuk.
"Ya, Pak. Kami di teror kuyang beberapa hari ini," ucapku serius.
"Bapak ga bisa menganggap enteng kuyang, Pak. Selain suka menghisap darah bayi, ibu hamil dan memakan ari-ari, ia juga punya ilmu yang bisa menyedot dan membuat orang tertidur," tutur pak sopir sembari pandangannya fokus ke jalan.
"Bapak tau darimana?" Dini ikut menimpali.
"Saya adalah warga asli kalimantan. Ibu saya dulu tinggal di desa yang masih banyak kuyang di sana. Sedikit banyak tau. Terlebih saya kecil pernah diincar kuyang dan sempat di sedot darahnya," kembali si bapak bercerita.
"Lah, tapi Bapak bisa selamat? dan segar bugar hingga saat ini," kali ini aku yang ikut berkomentar.
"Saya memang korban kuyang. Bayi yang dihisap darahnya itu ga serta merta meninggal Pak. Mereka cuma infeksi aja. Ciri-cirinya ada bekas memar seperti gigitan. Tapi, ya tetap saja menakutkan jika ketemu dengannya," Pak sopir menjawab dengan santai.
"Pak, sepertinya Bapak sangat tau tentang kuyang. Kalau boleh saya bertanya, adakah yang bisa menolong kami lepas dari teror kuyang ini, Pak?" tanyaku penuh harap. Jujur aku sudah jenuh dan takut untuk bertemu kembali dengan ibunya Arini. Aku yakin sekali ia akan datang kembali untuk menuntut balas atas kematian Arini.
"Bapak tidak bisa sendiri, Pak. Mintalah bantuan dengan warga sekitar. Ia tidak akan bisa di kalahkan jika kita tak menemukan tubuhnya," jelasnya.
"Kerumunan warga salah satu yang ditakutinya. Jika Bapak ingin lepas darinya, maka Bapak harus mencari tubuhnya," lanjutnya.
"Tepat sekali kata si Bapak ini. Berarti aku harus melakukan hal yang sama dengan Arini dulu. Cuma itu jalan satu-satunya," pikirku.
"Tapi kan bisa baca doa, Pak. Semua hantu takut pada doa," celetuk Dini.
"Ibu, Ibu lagi hamil, 'kan? kemungkinan Ibulah calon korban yang diincarnya. Hati-hati, Buk. Siluman bukan hantu. Hakikatnya ia adalah manusia, sama seperti kita. Hanya bersekutu dengan iblis, saran saya selain rajin berdoa, jangan lupa bawa bawang merah," Pak Sopir menjelaskan dengan sabar.
Dini tak menyahut seolah tak terima dengan ucapan si Bapak. Yah, terkadang aku gemas dengan sikapnya yang arogan. Mungkin karena ia belum pernah berhadapan langsung dengan kuyang.
Setelah membayar dan mengucapkan terima kasih , aku dan Dini turun dari mobil. Aku sungguh beruntung bertemu dengan pak Sopir yang punya banyak pengalaman tentang kuyang. Setidaknya informasi Bapak tadi sangat bermanfaat .
"Mas, aku mau belanja dulu, ya. Kamu tinggal di rumah sendiri, ga apa?" tanya Dini setelah kami masuk berbarengan ke dalam rumah.
"Iya, tapi jangan sendiri. Bi inah harus menemanimu, Dek," ucapku lemah lembut agar ia tak tersinggung.
"Iya, Mas, baik," jawabnya pelan. Tumben ini si Dini manut. Ada rasa lega ketika ia berkenan di temani bi Inah.
Kutatap kepergian Bi Inah dan Dini yang menggunakan motor hingga hilang dari pandangan. Dalam hati terselip doa untuknya . Semoga isteri dan anakku baik-baik saja.
***
POV: Dini.
Aku sungguh sangat bahagia ketika untuk pertama kalinya Mas Yusuf mengijinkanku pergi berbelanja ke pasar tradisional, walaupun harus ditemani Bi Inah. Asisten rumah tanggaku.
Sepanjang jalan aku tak henti berdecak kagum. Sungguh indah pemandangan di desa ini. Pohon-pohon menjulang tinggi, sawah membentang di sisi kanan dan kiri jalan. Rumah-rumah kayu yang terkesan eksotik mendominasi. Halaman rumah yang luas di kelilingi tanaman bunga warna-warni dan juga buah-buahan, terutama mangga yang bergelantungan.
Aku begitu menikmati pemandangan desa ini. Hingga tibalah kami di pasar tradisional. Aku pun segera mengajak Bi Inah untuk masuk. Bi Inah tak pernah jauh dariku. Mata nya selalu awas menatap sekeliling. Aku merasa risih.
"Bi, carikan es, dong?" pintaku lirih. Bi Inah menatapku. Ia kaget dengan keinginanku .
"Kita beli sama-sama aja, Nya," tolaknya halus.
"Aku capek, Bi. Aku janji tak akan kemana-mana dan akan menunggu di sini," jawabku meyakinkan si Bibi. Bibi pun akhirnya mengangguk dan pergi mencari es meninggalkan ku. Aku menunggunya sembari duduk dan memperhatikan sekeliling.
"Orang baru di sini, Neng?" sebuah suara membuatku terhenyak. Dengan segera ku tatap siapa yang bertanya . Dari suaranya terkesan seperti ibu-ibu berusia empat atau lima puluh tahunan. Tapi, wajah nya sungguh sangat cantik.
"I-- Iya, Bu," jawabku seraya berdiri.
"Lagi hamil?"tanyanya lembut yang diiringi anggukan dariku.
"Hamil berapa bulan?" ia kembali bertanya. Ia menyodorkan tangannya seolah ingin mengelus perutku. Sebenarnya hatiku menolak karena teringat pesan suami dan Bi inah . Tapi entah mengapa aku seperti terhipnotis dengan ucapannya dan diam saja ketika tangan itu hampir menyentuh perutku .
"Kamu mau apa?" suara Bi Inah menggelegar membentak wanita itu. Aku tiba-tiba tersadar dan beringsut menjauh. Mata wanita itu tampak marah dan menatap tajam ke arah Bi Inah .
"Ini, Nya, bawang merah pesanan Nyonya!" seru Bi Inah. Ia menyodorkan sekantong bawang merah kepadaku. Aku menatap heran. Bukankah yang kuminta es, bukan bawang merah.
Tanpa mengucap apa pun wanita tadi langsung berbalik dan pergi meninggalkan kami. Aku yang masih kebingungan menatap bi Inah heran. Tatapan matanya gusar, seperti menyimpan perasaan yang sulit di artikan.
"Bibi sudah berpesan sama Nyonya, jangan biarkan orang asing menyentuh perut Nyonya , atau ....,"