Bismillah
"TEROR KUYANG"
#Part_9
#by: Ratna Dewi Lestari.
Pov : Dini.
"Bibi sudah berpesan sama Nyonya, jangan ada orang yang menyentuh perut Nyonya atau Nyonya akan celaka," ucap Bibi dengan raut wajah di tekuk pertanda marah.
Tak pernah kulihat Bi Inah seperti ini. Mungkin ia terlalu mengkhawatirkanku. Ya, selama di sini Bi Inah sudah seperti Ibu bagiku.
Ia begitu telaten dan sabar menghadapiku. Ia tak pernah marah ketika tak sengaja aku berkata kasar. Pekerjaannya rapi dan masakannya enak.
"Iya, Bi. Maafkan aku. Tadi aku seperti terhipnotis dan tak bisa menolak semua ucapan Ibu tadi," paparku.
"Seperti itulah kuyang. Nyonya tak akan bisa membedakan mana manusia biasa yang memang berniat baik atau kuyang yang ingin menjadikan Nyonya sebagai mangsa. Maka pesan saya, Nyonya jangan menganggap enteng apa itu kuyang," ucap Bi Inah tegas. Mata nya menyorot marah kepadaku seperti memberi peringatan keras.
"Iya, Bi." jawabku dengan wajah tertunduk. Aku merasa sangat bersalah dengan menganggap jika kuyang itu sama seperti makhluk halus lainnya yang dengan mudah di lawan hanya dengan doa.
Ternyata begitu banyak makhluk halus dan sekutu jin yang tidak ku ketahui. Selama ini aku hanya tau pocong dan kuntilanak. Itupun sangat jarang bisa kutemukan. Selama hamilpun jarang. Hanya beberapa kali saja sempat melintas sewaktu masuk ke dalam rumah. Mungkin karena rumah itu lama tak di tempati.
Tak ayal aku menganggap enteng kehadiran kuyang selama ini. Ku kira hanya dengan doa yang kupelajari dulu ia bisa mudah pergi, sama seperti kuntilanak yang sempat melintas dan nangkring di pohon mangga belakang rumah.
"Ayo kita segera pulang,Nya. Hari hampir siang, takut Tuan kelaparan," ajak Bi Inah. Aku segera mengangguk dan mengikuti Bi Inah dari belakang. Walaupun kami berjalan beriringan, aku merasa ada sepasang mata yang sejak tadi memperhatikan gerak gerik kami. Sekilas ku lihat Ibu tadi berdiri di pojok pasar, menatapku dengan senyum sinis terkembang di wajahnya. Aku bergidik ngeri melihatnya. Wajahnya terkesan sangat menyeramkan bagiku. Ku percepat langkahku dan buru-buru pergi. Motor menderu kencang diiringi genggaman erat Bi Inah di pinggangku.
***
"Dek, kamu tidur duluan, ya. Mas ada kerjaan sebentar," bisik Mas Yusuf ditelingaku. Lidahnya sengaja bermain nakal di daun telingaku.
"Isss, geli Mas!" pekikku. Aku berangsut menjauh dari wajahnya. Kutepis pelan wajah itu agar ia tak melakukan aksi nakal itu lagi.
"He-he-he, dah bobok sana. Dah malam, Sayang," ucapnya manja.
"Iya, Mas. Jangan lama-lama, ya... Aku takut bobok sendiri," jawabku lirih. Entah kenapa gara-gara kejadian tadi siang aku jadi sangat takut. Masih terbayang wajah sinis wanita tadi siang. Benar-benar membuatku merinding.
"Kamu? takut? sejak kapan seorang Dini punya rasa takut?" ejek Mas Yusuf. Ia tertawa melihatku yang berubah pucat.
"Ah, sudahlah," jawabku kasar dan langsung berdiri meninggalkannya di ruang tamu. Dongkol rasanya di ejek seperti itu. Ya, memang benar aku ini pemberani. Namun aura di sini sungguh berbeda. Membuat nyaliku seketika ciut.
Bukkkkk!
Ku rebahkan tubuhku di atas kasur. Mataku sulit terpejam dalam keadaan terang benderang. Dengan malas ku langkah kan kaki menuju sudut dekat pintu. Mematikan lampu dan menghidupkan lampu tidur. Remang-remang di dalam tetapi cahaya tetap masuk dari lampu luar.