05 : Hujan

155 38 1
                                    

Bulan yang harusnya memancarkan sinar secara maksimal, kini harus sedikit mengalah dengan awan yang menutupi cahayanya sampai ke bumi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bulan yang harusnya memancarkan sinar secara maksimal, kini harus sedikit mengalah dengan awan yang menutupi cahayanya sampai ke bumi. Awan hitam serta gemuruh yang bersuara meyakinkan siapapun bahwa hujan akan tiba.

Sepertinya pesan yang dibawa oleh gemuruh telah sampai kepada para manusia di bumi. Terbukti dari daerah kompleks Jaci yang sudah sepi dan hampir semua pintu di daerah tersebut terkunci rapat-rapat. Memberi isyarat bahwa para warga akan memilih untuk diam dirumah dan bergelung dibalik selimut daripada melakukan aktivitas ditengah hujan.

Namun, gemuruh dan awan hitam sepertinya belum berhasil menyampaikan pesannya kepada penghuni nomor rumah 102. Rumah tersebut terbuka lebar, seolah menyambut kedatangan tamu yang tak diundang.

Jaci menghampiri rumah itu dengan yakin, tanpa keraguan sama sekali. Dibelakangnya, laki-laki yang notabene nya kakak kelasnya itu masih setia mengejarnya.

"Jaci! Berhenti dulu! Kita omongin semuanya ya? Jangan menghindar gini!" Karel berteriak sekuat tenaga agar gadis itu mendengarkannya, meskipun ia tahu hasilnya nihil.

Gadis itu sudah terlebih dahulu masuk kerumah tetangganya, yang juga sahabatnya.

🐶🐱

"Kak, lo kenapa?" Raya memandang Jaci penuh tanya.

Bayangkan, tamu tak diundang ini menerobos masuk dan datang dengan rambut yang berantakan. Kunciran yang tadinya rapi, sudah melonggar dan mengakibatkan anak rambut gadis itu mencuat kemana-mana. Ditambah matanya yang berkaca-kaca, menahan bendungan air mata yang siap melesak keluar kapan saja.

Benar saja, ketika Raya berinisiatif untuk membenahi rambutnya, air mata gadis itu memaksa keluar dengan deras. Untung saja isak tangisnya tidak mengeluarkan suara, dan kebetulan orangtua dari kedua bersaudara itu belum pulang. Jaci tidak siap ditanyai macam-macam oleh sepasang suami-istri yang telah menganggapnya seperti anak sendiri itu.

"Ray, wajar nggak sih kalo gue suka sama orang?" tanya Jaci, setelah tangisan nya sedikit reda.

Raya mengernyit, jadi teman kakaknya ini menangis karena laki-laki? Ia terkejut, karena selama ini Jaci tidak pernah membahas soal laki-laki kecuali sahabat-sahabatnya. Kalau untuk suka, belum pernah ada di kamus curhatan mereka.

Menggeleng ragu, gadis muda itu tidak ingin memberi respon lebih lanjut mengenai kebingungan nya karena takut Jaci akan merasa tersinggung.

Ditambah fakta yang diketahui Raya bahwa Jaci tidak pernah memandang seorang laki-laki lebih dari teman.

"Loh, Jaci?" perhatian kedua gadis itu teralihkan kearah pintu kamar mandi yang terbuka. Hasta yang masih berusaha mengeringkan rambutnya yang basah setelah keramas pun segera menghampiri Jaci, ketika menyadari gadis itu menangis.

"Lo kenapa nangis?" bukannya menjawab, Jaci justru menunduk. Tidak membiarkan Hasta menatap matanya.

Raya yang menyadari situasi pun beranjak, inisiatif untuk mengambil minum.

JAIMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang