16 : Permen Karet

138 28 1
                                    

Matahari bergerak ke ufuk barat, hampir tenggelam diantara cakrawala yang kian menggelap

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Matahari bergerak ke ufuk barat, hampir tenggelam diantara cakrawala yang kian menggelap. Jalanan menjadi berwarna kejinggaan akibat fenomena tersebut.

Indahnya suasana yang tercipta membuat para pejalan kaki maupun pengendara betah berada dibawahnya, walau beberapa ada yang sudah tidak sabar menuju rumah masing-masing.

Dua pasang kaki melangkah beriringan dibawah senja, hanya saja dengan ritme yang berbeda. Sang perempuan melangkah penuh energi seraya mengayunkan tangan, sedangkan laki-laki disebelahnya melangkah santai tanpa terburu-buru.

Dalam hati, ia ingin menggenggam tangan perempuan yang mengayun bebas disampingnya. Namun, keberanian nya belum mencapai titik itu.

bruk!

Seorang anak perempuan menabrak Jaci secara tiba-tiba, membuat gadis itu agak terhuyung ke belakang karena terkejut.

Anak itu segera meminta maaf berkali-kali, menandakan bahwa orangtuanya mendidik etika nya secara matang. Usianya sekitar tiga tahun, namun bicaranya sudah sangat fasih. Meski begitu, namanya anak-anak ya, dia menangis. Padahal Jaci sudah mengatakan tidak apa-apa dan menyuruhnya untuk berhenti menangis.

"ASTAGA CACA SAYANG, MAMA CARIIN DARITADI!" datanglah seorang wanita paruh baya, memeluk erat anak perempuan tadi dengan raut wajah penuh kekhawatiran.

Wanita tadi segera menggendong anak tersebut, yang ajaib nya langsung membuat anak itu terdiam. Menghapus jejak-jejak air mata di pipinya, anak itu meraba kantung jaketnya seperti tengah mencari sesuatu.

"Maaf ya, mbak. Anak saya emang suka lari-larian," ibu tadi membungkuk tulus, membuat Jaci tidak enak hati dan tersenyum canggung.

Caca, yang berada di gendongan sang ibunda menyerahkan sesuatu kepada Jaci, juga Daim.

"Permen karet?" gumam Jaci, anak itu mengangguk antusias.

"Sebagai permintaan maaf, kak. Tau kenapa permen karet yang aku kasih?" Jaci menggeleng tak paham.

"Karena permen karet yang bisa realistis untuk menggambarkan kehidupan. Rasa manis diawal dan hambar pada waktunya, sama kaya pujian dan roda kehidupan yang berputar. Manusia ngga bisa selalu nuntut perjalanan hidupnya selalu manis, pasti ada ujian yang harus dihadapi. Itu yang selalu saya ajarkan ke Caca sejak dini, lebih tepatnya setelah dia berhasil melawan penyakitnya," sang ibu mengelus surai hitam anaknya dengan lembut, tersenyum penuh arti kepada Jaci dan Daim.

"Memang kalau boleh tau, Caca sakit apa bu?" Daim, yang sedari tadi menyimak mulai angkat bicara.

"Retinoblastoma."

Daim langsung menoleh kearah Caca. Tatapannya intens, entah apa yang ada dalam pikirannya begitu mendengar nama penyakit itu.

Merasa diperhatikan, Caca kembali menatap Daim dengan mata berkejap beberapa kali, memperlihatkan kebingungannya. Semenit kemudian, mulutnya terbuka. Menjawab apa yang mungkin menjadi bahan pikiran di otak Daim.

JAIMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang