Beginning

791 59 99
                                    

Dua insan duduk saling berhadapan, sedikit jauh karena pada balkon yang berbeda. Tapi cukup untuk sekedar bercengkerama melepas lelah pada dunia.

Masa dewasa belum mereka lalui, bahkan remaja pun belum dipijak oleh mereka. Keadaan memaksa, berusaha memahami bahwa salah satu dari mereka sudah lelah.

"Lihatlah ada bintang jatuh," ujarnya lirih namun begitu bersemangat.

"Satukan tanganmu, bukankah biasanya kau akan melakukannya?"

"Tapi aku sudah lelah. Bintang yang berkerlip dan jatuh itu tak pernah mendengar harapanku, apakah aku terlambat untuk meminta sebuah harapan?" balasnya dengan pasrah.

"So do it, make that twinkling shooting star tired of all your hopes."

Anak itu mengangguk mendengarnya. Jemarinya ia satukan, menggenggam satu sama lain. Ia dongakkan kepalanya, seraya memejamkan mata.

Melihat temannya melakukan hal itu, ia hanya terdiam. Tidak tertarik dengan sebuah hal mitos seperti itu. Namun, di lubuk hatinya, ia sangat ingin harapan temannya itu terkabulkan. Walaupun hanya satu saja.

"Dasar si anak bintang," ejeknya lirih.

"I can hear you," balas si anak bintang yang telah melakukan ritual harapannya membuat sang pengejek gelagapan, disusul oleh tawa dari keduanya.

"So, do you want to hear it?" tawarnya.

"Apa? Harapanmu?"

Si anak bintang mengangguk. Namun langsung dibalas gelengan cepat oleh temannya.

"Why?"

"Nanti akan susah dikabulkan, lebih baik simpan sendiri," ujarnya menjelaskan, walaupun dirinya hanya sebatas tahu penjelasan itu dari sang kakak.

"Aku... Juga tidak tahu apakah harapan yang ini harus dikabulkan atau tidak...."

Masih menunggu lanjutan dari apa yang si anak bintang ucapkan, sang teman hanya menatap dengan gemas.

Cukup lama dirinya menggantungkan ucapannya membuat temannya benar-benar menatapnya horor.

"Jangan menatapku seperti itu!"

"Aku menunggumu!" kesalnya. Membuat si anak bintang itu hanya menyengir.

"Jadi jika aku ragu, apakah boleh aku membaginya?"

"Why not? We'll leave it up later, whether it's accepted or not." Toh, dia juga bisa dibilang kepo dengan harapan yang dirapalkan oleh temannya.

Si anak bintang itu tersenyum, ia menatap lekat netra seberang, membuat yang ditatap merasa tidak nyaman dengan tatapan itu.

Empat mata saling menatap, cukup lama hingga suara dobrakan pintu dari kamar si anak bintang membuat temannya memutuskan tatapan mereka.

Menyadari hal itu, keduanya langsung berdiri, panik kepalang kabut. Namun si anak bintang masih memfokuskan diri untuk tetap tenang, menatap temannya yang juga ditatap balik olehnya.

Hingga pintu kamar si anak bintang terbuka dengan paksa, menampakkan pria yang siap untuk melampiaskan kemarahannya.

"Kali ini..."

Temannya berusaha menajamkan pendengarannya kala pria itu berteriak memanggil nama si anak bintang. Si anak bintang menyuruhnya masuk, namun temannya menolak. Ia tahu, si anak bintang sangat membutuhkan bantuan.

Namun, dirinya tak bisa berbuat apapun. Si anak bintang itu menyuruhnya diam.

"Harapanku....

Tangan si anak bintang itu ditarik dengan paksa, mengabaikan temannya masih setia di balkon untuk mendengarnya. Namun, darahnya berdesir, air matanya siap jatuh kapan saja, bukan mendengar, tapi melihat logat bibir si anak bintang. Ia melanjutkan ucapannya,

































Kematian."

••••

Haloww

Mau iseng aja nih. Book yang sebelah aja keknya berdebu ^_^

Malah sekarang up book baru.

Gatau rasanya pengen buat cerita family/brothership yang ada unsur horornya karena "The Mysterious Class"

~Galau sumpah karena Haruto :(

Gemes aja gitu...

Walaupun aku masih noob dalam per-horor-an dan, kuharap kalian suka xixixi... mungkin ini akan slow update :"0

Makasihhh buat mampir, dalam keisengan ku ^^

Lope you all

The Regret | TreasureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang