Bocah itu meringkuk, tubuhnya sakit sekali. Arthur, sobatnya, berpindah tanpa pamit. Dirinya sendirian sekarang. Mau berapa kali lagi ia dipukul? Mau berapa kali lagi ia berganti baju akibat guyuran air? Mau berapa kali lagi dirinya makan-makanan yang dilempar sia-sia?
Semenjijikan itukah dirinya? Hingga sang ayah membencinya?
Dobrakan pintu terdengar sekali lagi. Ah Kevin, malangnya dirimu. Permintaannya, harapannya, keinginannya ketika duduk berdua bersama Arthur apakah akan terkabulkan malam ini?
Kevin tidak tahu, namun pintu balkon yang terbuka, entah mengapa bayangan Arthur terpampang jelas disana, tersenyum dan seolah berkata "tunggu aku".
Namun semua itu sirna, ketika dingin menyelimutinya. Pukulan terakhir dia dapatkan, penyesalan akan permintaannya kala itu, tak memikirkan bagaimana nanti jika sang sahabat menangis karena kepergiannya. Apakah Arthur akan menangisinya? Kevin tak tahu.
Tapi untuk yang terakhir kali, semoga tak menjadi penyesalan, bahwa dirinya ingin bertemu dengan sang sahabat. Mengucap selamat tinggal dengan baik. Walaupun harus mengacaukan segalanya.
••••
"Aku mengandalkanmu Thom, aku harus mengunjungi adikku. Tolong bantuannya," Jayden menutup panggilan ponselnya. Walaupun dirinya harus dicaci maki oleh sahabatnya karena mengambil cuti dadakan.
Tak butuh waktu lama setelah panggilan Arthur yang membuat adrenalinnya berpacu cepat. Takut akan serangan panik adiknya kambuh begitu saja.
Ia dengan cepat menuju bandara dan lepas landas.
Arthur, kakakmu akan datang.
••••
Justin terbangun. Kerongkongannya kering. Rambutnya acak-acakan. Matanya sembab. Dirinya beranjak dari tempat tidur, milik David pastinya. Disebelahnya ada Travis dan John yang tertidur dengan pulas. Di sofa sana ada Sam yang juga tertidur pulas. Mereka pasti sangat kesulitan tidur dikarenakan kejadian aneh yang menimpa mereka.
Petang. Selama itukah ia tertidur? Lapar dan haus rasanya.
Namun sebelum ia beranjak, dirinya ditarik membuat keseimbangannya hilang dan kembali ke kasur.
"Aw! Sakit tanganku!" pekiknya.
"Sorry, mau kemana?"
Pertanyaan Travis membuat Justin bingung. Kenapa kembaranya itu sedikit, eum lebih protektif?
"Haus."
Mendengar apa yang Justin ucapkan, Travis beranjak dari kasur lalu mengambil sebuah selendang yang David punya. Hey, buat apa David menyimpan selendang? Tentu saja untuk model gambarnya. Authors also need inspiration.
"Nih!" ucap Travis seraya memberikan selendang itu kepada Justin.
"Huh? For what?"
Tanpa membalas ucapan Justin, Travis mengikatkan selendang itu pada pergelangan tangan Justin dan dirinya. Huh freaky boy, hm?
"What the heck are you doing, Travis?"
"Just shut the fuck up. I don't want to lose you, Justin! Seolah-olah ia ingin membawa mu pergi!"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Regret | Treasure
FanfictionDunianya telah hancur namun penyesalannya mengundang kekacauan. Semuanya dimulai dari sebuah penyesalan. Mungkinkah mereka akan menyerah pada sebuah penyesalan atau berdamai dengan penyesalan itu sendiri? Hingga kematian menghantui mereka. ⚠️Slowup...