5

206 28 1
                                    

Danny terbangun, hari minggu bukanlah hari yang bisa dikatakan santai bagi single parent seperti dirinya. Sesekali dirinya menatap layar ponselnya dimana Joanne—mantan istrinya itu memberikan resep makanan yang disukai oleh anak-anaknya.

Danny tidak masalah untuk Joanne tetap menghubunginya. Namun anak-anak, semenjak saat itu mereka tidak pernah bertanya soal Joanne. Mereka kelewat kecewa, Danny juga. Tapi, Danny juga tidak ingin egois dan amarah melahapnya layaknya malam itu. Danny, ia berusaha untuk berdamai.

Tapi ingat, dirinya juga tak sudi untuk tetap terus berhubungan dengan Joanne. Menyakitkan.

Apalagi untuk sekarang, sepertinya dia harus memiliki penjaga rumah. Mengingat kejadian aneh yang terjadi, membuatnya merasa tak nyaman jika harus meninggalkan keempat anaknya hingga larut malam. Tak mungkin juga mempunyai pendamping baru. Ia tidak munafik, Joanne saja masih belum bisa ia relakan.

"Jagoan Papa."

Kini, tangan Danny beralih untuk mengusap surai Justin yang berada di sampingnya. Ugh, jangan diingatkan bahwa Danny sedikit terbayang mimpi mengerikannya malam tadi.

Tok

Tok

Tok

Pintu diketuk tiga kali membuat Danny yang benar-benar baru bangun langsung beranjak berdiri untuk turun ke lantai 1.

"Sebentar," ujarnya ketika berada di anak tangga terakhir.

Danny membuka pintu utama rumahnya, ditampakkannya tetangga depan rumahnya tersenyum cerah kepada Danny.

"Morning, Mr. Choi," ujarnya yang masih dengan senyuman itu.

"Oh, morning too, Mr. Park," balas Danny masih menetralkan cahaya yang masuk dalam penglihatannya. Bukan efek cahaya dari luar saja namun, cahaya dari tetangganya itu bak tokoh dari sebuah komik yang bersemangat pagi hari, secerah mentari.

"Bolehkah saya berbicara sebentar dengan Anda, Mr. Choi?" tanyanya ragu. Jun, orang itu, tidak diajak berbicara oleh sang adik karena telah merepotkan tetangga barunya. Apalagi dalam keadaan yang bisa dibilang kurang mengenakkan.

"Tentu saja, Mr...."

"Panggil saja Jun, Mr. Choi. Maaf memotong," ujar Jun yang langsung merasa bersalah.

"Ah, tidak apa-apa... Anak muda selalu bersemangat bukan? Oh, silahkan masuk," tawar Danny.

Namun, bukannya menjawab, Jun hanya menatap diam. Jantungnya berdegup kencang. Keringat dingin memenuhi peluhnya. Tangannya sedikit bergetar namun masih bisa dirinya tahan.

Mendapat respon pasif dari lawan bicara dengan cepat Danny menawarkan untuk duduk di luar saja, seraya menikmati udara yang masih segar. Dan tentunya Jun langsung mengangguk mengiyakan.

"Ada yang perlu disampaikan?" tanya Danny kepada yang lebih muda ketika kedua oknum tersebut telah duduk.

"Jadi begini... Saya tidak tahu cara untuk berterimakasih kepada Anda karena beberapa hari terakhir saya sering sekali pulang dengan keadaan yang sangat dibilang tidak sopan, apalagi Anda yang sering kali memulangkan saya."

Jun sedikit, tidak malah lebih tepatnya sangat malu.

"Tidak masalah, tetangga adalah keluarga. Orang tua saya yang mengajarkan saya seperti itu," ujar Danny yang menyangkal ucapan Jun. Dilihat dari manapun Danny tidak keberatan sama sekali hanya sekedar mengantar orang mabuk.

Danny juga tidak bisa men judge orang seenaknya. Mungkin Jun memiliki sesuatu 'hal' yang membuatnya merasa terpuruk.

"Aaaa, tidak bisa! Anda adalah orang baru disini. Melihat saya seperti itu pasti membuat Anda tidak nyaman. Kalau boleh, David, adik saya, dia bisa menemani anak-anak Anda."

The Regret | TreasureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang