8

193 24 0
                                    

Arthur terpaku, ketika taksi mengerem mendadak di saat mobil yang lain melewati taksi dengan kecepatan tinggi. Diamnya lebih diam lagi saat mobil itu ternyata berhenti tepat di depan rumah yang Arthur tahu betul rumah siapa itu sebelumnya.

Si anak bintang.

Rumah yang melahirkan sosok untuk pelampiasan saja. Dunia sangat lucu.

"Kurang ajar sekali!" umpatan dari sang sopir taksi membuat Arthur tersadar dari lamunannya.

"Sudah sampai.." ujar Arthur mengambang. Dirinya langsung memberikan uang dan tip kepada sang sopir.

"Terimakasih," setelahnya Arthur langsung keluar dari taksi. Rasa penasaran dengan 'siapa pemilik mobil yang terparkir di depan rumah anak bintang?'

Arthur mendekat, baru saja dirinya berada di depan halaman rumah tersebut. Pintu di dobrak dengan kencang dari dalam, menampakkan 3 pria yang masing-masing sedang menggendong bocah. Mereka melewati Arthur dengan nampak takut? Itu yang dapat Arthur tangkap.

Hingga keseimbangannya ambruk dikala ada yang menabraknya dengan cukup keras dari depan.

"Awww!" pekik sosok yang menabraknya. Mereka jatuh, dengan keadaan sosok itu berada di atas perut Arthur.

Arthur hanya terdiam. Tapi sakit juga. Tunggu, sosok itu, bocah?

"Kau? Tidak apa?" tanya Arthur. Hey dirinya juga kesakitan sekarang.

"Papa!!!!!"

Bukannya menjawab bocah itu malah berteriak memanggil Papa nya. Oh sial, Arthur bukan pelaku disini. Banyangkan jika dirinya dituduh yang tidak-tidak. Kinda pedofil mungkin.

"Hey, ssst diamlah. Tadi yang berlari itu Papa mu bukan?" sungguh, Arthur tidak suka keributan. Dan dengan kalemnya, bocah itu mengangguk tentunya dengan wajah polos dan lucu. Ah jangan sampai Arthur menjadi pedofil hanya untuk bocah itu.

"Oke, aku antarkan. Tolong jangan menangis atau berteriak, itu membuatku sedikit pusing?"

Arthur berdiri, masih dengan kebingungan yang melanda. Namun, bocah ini lebih penting. Begitulah pikirnya. Jika ia abaikan bocah ini, maka dirinya akan di cap sebagai pria bermasalah. Dan Arthur tidak suka menjadi sosok bermasalah.

Baru saja beberapa langkah. Pria yang sekiranya sepadan tingginya dengan dirinya berlari menghampiri lalu memeluk bocah yang berada disampingnya.

Tch. Drama apa lagi ini?

"Oh tuhan, I'm sorry!" ujar pria itu sambil memeluk erat bocah disampingnya.

"No need to say sorry, I'm pretty good because you're not forgetting me,"

Tak lama muncul pria satu lagi, dengan wajah yang begitu khawatir. Dia berlari mendekati mereka "Mr. Choi! Justin mencari anda!"

Tanpa basa-basi, yang terpanggil langsung berjalan menuju rumah seberang. Diikuti oleh sang bocah dan pria yang baru saja datang. "Ekhm! Tunggu!"

Arthur memanggil salah satu dari mereka. Dan salah satunya berhenti, "Saya?"

Arthur hanya mengangguk mengiyakan. Lalu dengan santai Pria tersebut menghampiri Arthur dengan nafas yang masih tersengal-sengal. "Orang baru?" tanyanya kepada Arthur.

"Iya," jawab Arthur dengan singkat.

"Dimana? Tinggalnya?"

"Ah, sebelah sini," Arthur menunjuk tepat sebelah rumah yang baru saja buat mereka lari kesetanan.

"Saya Jun..."

Tidak tanya.

Jujur Arthur ingin menjawabnya begitu. Tapi dirinya yang tidak pedulian ini menjadi lebih sedikit peduli karena ini adalah lingkungannya dulu. Ya, banyak kenangan pahit dan manisnya.

"Arthur, itu..."

Tangan Arthur tiba-tiba dipegang oleh Jun membuat Arthur reflek melepaskan. Namun, tak bisa. Jun itu kuat. "Hey!! Lepaskan!"

"Maaf, tapi untuk sekarang saya memaksa Anda mengunjungi rumah saya terlebih dahulu!"

Tak ada balasan dari Arthur.

"Menyapa tetangga baru lebih baik disapa oleh yang bernyawa bukan?"

Dan semua terjadi begitu cepat bagi Arthur.

••••

Ruang tamu menjadi sunyi. Tak ada yang berani berbicara. Ada Arthur disana, yang ikut diam tak paham apa-apa. Sedikit canggung, dan dia memilih untuk menghubungi Simon sialan itu. Meninggalkannya, sungguh tak masalah tapi sedikit mengesalkan.

Hingga Jun mendekat kearah Justin yang masih menunduk diam, tepat disampingnya ada John yang masih tertidur dan Danny yang memeluk pundak Justin.

"Justin..."

Mendengar namanya dipanggil, Justin menoleh kearah Jun. "Mau kubuatkan susu?"

Justin hanya menggeleng sebagai jawaban. "Tapi kau harus minum, lihatlah kau tidak bertenaga sama sekali," balas Jun yang lalu berdiri berniat untuk membuatkan Justin susu.

Baru beberapa langkah berbalik, Jun terdiam ditempatnya.

"Jun..."

Adalah Justin yang memanggilnya. Sedikit tercengang mendengarnya. Justin belum pernah berkenalan dengan dirinya. Membuat semua yang disana ikut tercekat.

"He's not the thief!"

David mengerutkan keningnya. Mendekat kearah Jun yang masih terdiam ditempatnya. Menepuk pundak Jun untuk menatap Justin yang mulai aneh.

Justin, tatapannya kosong namun terpaku oleh Jun. David merinding dibuatnya.

"Yang terakhir bukan dia, jangan kunci dia, yang terakhir bukan dia, dokumen Jun hilang bukan karena dirinya. Ia hanya mengambil permen. Jangan salahkan dia, maafkan dia, dia takut, takut, sosok itu datang lagi, hiks..."

Justin menangis. Menangis namun dengan tatapan kosong.

"Jun?"

Setelah David memanggil namanya, Jun merosot bertumpu lutut. Semua terdiam, tak terkecuali Arthur yang begitu awam dengan atmosfer seperti ini.

Justin tiba-tiba menatap pintu yang terbuka lebar, dengan sendu. Di seberang sana, tepatnya halaman kediaman Mr. Choi, kontak mereka bertemu, saling beradu pandang datar dengan air mata yang terus keluar. Tubuhnya tidak terluka fisik yang mengerikan, tidak ada belatung ataupun sesuatu yang membuat Justin menjerit ketakutan.

Dari batinnya yang sangat dalam. Sosok anak itu terluka.

••••

Olaaa, makasih sudah mau mampir...

Jangan lupa vote n comments yawww


The Regret | TreasureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang