Jengah menjadi rasa yang selalu menghantuinya 7 tahun lamanya. Ia rindu, rindu yang semakin memeluknya tanpa mau melepaskannya. Dirinya tersenyum getir mengingat harus berpisah tatkala orang tuanya berpulang tanpa salam perpisahan pula.
Dalam sekejap semesta memisahkannya, entah dari kedua orangtuanya atau dengan sosok yang telah dirinya tinggalkan sendirian bersama orang gila di dalamnya.
Bagaimana sosok itu sekarang? Apakah masih berharap pada sebuah bintang? Apakah harapannya seorang bocah itu terkabul? Apakah bocah bodoh itu masih percaya? Bagaimana parasnya yang memikat hati para gadis itu? Ah sial, dirinya iri. Tapi tidak untuk kepolosannya.
Si anak bintang.
Temannya, sahabatnya, bahkan sudah teranggap menjadi saudaranya. Sungguh, ia merindukannya.
Dia–si anak bintang bodoh, pikirnya. Namun, tak perlu menyangkal juga bahwa dirinya ikutan bodoh untuk meyakini bahwa bintang bisa mengabulkan sebuah harapan.
Dan kali ini, Arthur hanya berharap. Harapan yang kala itu, tak akan dikabulkan.
"Sudah lama ya..."
Ketika kaki ia pijakkan pada kota kelahirannya, membuat rasa sesak yang ia kubur selama 7 tahun itu menguar begitu saja. Dirinya sangat rindu.
"So, how?" tanya sepupunya seraya merangkul tubuhnya.
"Good."
"Just that? Tidak ada sensasi.. emm you know lah Arthur," goda sepupunya kepada Arthur.
"Shut up, Simon! you ruined my mood," kesal Arthur.
"Oh c'mon dude, kau dan kakakmu memiliki tempat kelahiran yang berbeda. Pasti ada sensasi rindu-rindu nya gitu, apalagi 7 tahun kau berada tidak disini," godanya lagi.
"Ck. Jangan menggodaku Simon. Lebih baik simpan tenaga mu itu untuk membersihkan apartemen nanti," balas Arthur lalu meninggalkan Simon begitu saja.
"Apa-apaan! Hey! Mau menyimpan tenaga atau tidak, tetap saja aku yang akan membersihkan semuanya!" gerutu Simon yang membuat Arthur tertawa kecil.
Ponsel berdering, membuat Simon harus mengangkatnya. "Author sialan. Jika dia menerima tawaranku akan lebih mudah nantinya. Kau duluan saja, aku akan menyusul. Masih ingatkan? Tidak ada yang berubah kok. Aku harus menerima panggilan ini, dan mungkin sedikit lama."
Setelah berucap seperti itu, Simon meninggalkan Arthur sendirian. Tak masalah bagi Arthur, dirinya sudah terbiasa. Mungkin. Ah, bahkan ia sendiri tidak yakin.
Hingga taxi yang ia pesan berhenti didepannya. Dengan senang hati, Arthur memasukinya. Seperti nostalgia dengan kota kelahirannya. Sungguh menyenangkan.
~Twinkle twinkle little star
How I wonder what you are
Up above the world so high
Like a diamond in the skyTwinkle twinkle little star
How I wonder what you are~Arthur sedikit bersenandung. Lagu itu, lagu kesukaannya. Entah kenapa lagu itu mengingatkannya kepada sosok sahabat kecilnya. Sungguh menyenangkan.
••••
Jujur, kali ini Travis benar-benar takut. bahkan dirinya sendiri tak melepaskan Justin dari pelukannya. Justin tidak sadarkan diri, John menghilang entah kemana, David belum kembali, Danny, Jun, dan juga Sam masih di luar. Ah, Travis sendirian.
Klontang
Suara benda jatuh mengalihkan atensi Travis ke arah dapur. Jantungnya berpacu lebih cepat dari sebelumnya. Pikirannya kalut, ia eratkan pelukannya pada Justin.
Dari Justin yang ingin bunuh diri, namun ternyata tidak. Suara di rooftop, kejadian aneh semalam, dan apalagi sekarang? Semuannya sudah tidak beres.
"David?"
Tak ada balasan.
Bagi Travis, sunyi kali ini menjadi musuhnya. Kali ini ia membencinya.
"Oh ayolah! David, kau pasti tidak kuat menggendong John kan? Karena dia berat dan gendut!"
Travis terdiam, menyadari sesuatu bahwa David sedang berada di lantai atas. Ia eratkan pelukan pada Justin, Tuhan... Travis bergetar sekarang.
Telinganya yang sering mengabaikan suara, bahkan kali ini suara detak jantungnya sendiri ia dengar. Travis bersembunyi pada ceruk leher Justin, menutup mata, berharap agar siapapun yang bernyawa datang menemaninya, selain Justin. "Tolong, jangan ganggu kami."
Travis menengang. Ia membelalakkan matanya.
Pundaknya...
Oh tolonglah, siapa? Siapa yang memegang pundaknya?!
Travis bukanlah Justin yang selalu berbasa-basi untuk menimang, dirinya berbalik walaupun jantung yang masih tidak karuan detaknya.
Danny.
Tanpa basa-basi pun, Travis melompat dan langsung memeluk Danny. Sial, dirinya menangis sekarang. Jika kedua adiknya melihat dirinya seperti ini, bisa dipastikan Travis akan menjadi ledekan pagi mereka. Ah Travis tidak menyadari adanya Sam disana.
"Mr. Choi..." ucapan Jun terhenti seraya mengangkat Justin untuk ia gendong. Jun menghela napas, ketika merasakan ada yang tidak beres pula dengan keadaan Justin. Berusaha untuk tetap tenang, walaupun semuanya telah berantakan. "Menginaplah di rumah kami," lanjutnya.
Suara derap kaki yang begitu cepat menuruni tangga. Sosok David bersama John digendongnya, "JUN! RUN!"
Begitu saja, tanpa perintah lagi. Semua seperti telah memahami. Mereka berlari keluar, walaupun Danny tetap membutuhkan penjelasan nantinya.
Sebelum pintu tertutup, Danny sempat mendengar David berteriak, "Go to hell, bastard!"
Ah, pengumpatan tidak akan ada habisnya.
••••
Heyow, makasih ya yang udah mampir baca ^^
Makasih juga yang masih setia menunggu nih buku padahal authornya jarang up
/Tampol
Oke oke :"
Udah aku usahain nulis lohhh, tapi emang ide itu suka ngalirnya di awal, kayak php gitu....
Kalau ada yang ganjel atau gimana gitu bisa diutarakan disini yach... Entah itu cerita atau ke authornya hehehe
Saranghe, daisuki, I love you minna-san ✨
KAMU SEDANG MEMBACA
The Regret | Treasure
FanfictionDunianya telah hancur namun penyesalannya mengundang kekacauan. Semuanya dimulai dari sebuah penyesalan. Mungkinkah mereka akan menyerah pada sebuah penyesalan atau berdamai dengan penyesalan itu sendiri? Hingga kematian menghantui mereka. ⚠️Slowup...