13

180 21 4
                                    

Dulu, hidupnya sangat indah. Cemara kalau kata orang. Itu dulu, dan penderitaan di mulai ketika fakta mengatakan bahwa dirinya bukan anak kandung sang Ayah.

Menyedihkan.

Bagaimana kata pelacur terus menggema, kata-kata kasar yang seharusnya tak dirinya dengar di usia yang masih belia harus menjadi makanan sehari-harinya.

Pukulan dan pelampiasan menjadi pelengkapnya.

Kevin meringis. Hingga tetangga sebelah meninggali rumah kosong itu. Kevin memiliki teman.

Teman Kevin, Arthur.

"Kau terluka," ujarnya dengan pelan, ketika melihat Arthur memeluk lututnya dan bersandar pada dinding balkon.

Ketika Kevin menatapnya lebih dalam, ternyata anak itu menangis dalam diam.

"Kau lebih.. parah," balas Arthur.

"You're right, I am."

Kevin mendekati pagar balkon. Ia tersenyum lembut pada Arthur membuat anak itu terheran.

"Kau seharusnya menangis, Kevin. Kau bukanlah orang dewasa," Arthur kesal. Entah kenapa dirinya kesal. Merasa lebih cengeng daripada Kevin yang memiliki banyak luka? Sedangkan dirinya? Hanya jatuh dan tergores saja. Mengapa dirinya menangis. Jelas, itu sakit.

"Aku ingin menangis, juga," lirih Kevin.

Luka kali ini tidak dalam, buat apa Kevin menangis? Tidak akan berubah. Sebanyak dirinya mencoba keluar rumah, sebanyak itulah lukisan yang ia dapatkan.

Lagi-lagi menyedihkan.

"So? Mengapa.. tak kau luapkan saja?" Arthur, pemilik pendengaran yang cukup bagus. Kevin sedikit terperanjat. Dan hanya gelengan yang menjadi jawaban. Ia tahu Arthur tak akan puas dengan jawaban yang ia berikan. Tapi Arthur mendekatinya, menjulurkan lengannya lalu meminta Kevin membalasnya.

"Lutut ku sudah sakit untuk menahan tubuh, tolong pegang saja," ucap Arthur dengan ingus yang keluar.

Tanpa ba-bi-bu, Kevin meraih uluran tangan Arthur. Hangat. Benar-benar hangat. Detik itu pula, Kevin menangis. Dihadapan sang teman, mereka menangis bersama.

"hiks.. jangan pergi, Arthur."

"Never!"

Kevin menatapnya dengan lembut, "pinky promise?"

Arthur menjulurkan lengan satunya menunjukkan jari kelingkingnya. Mereka menautkan kelingking itu satu sama lain. Sekali lagi hangat.

"Yarps, pinky promise."

••••

Kevin disana, menatap sengit makhluk yang bernyawa tersebut. Dengan seringai dan tubuh yang mengerikan. Bagaimana bisa? Hanya karena bocah kecil dengan penuh dendam, membawa banyak penyesalan, menjadikan dirinya jiwa tak tenang dengan penuh kebencian.

Disana, di atas sana dengan jelas Danny melihat pahlawan kecilnya melayang di udara. Tak membuka netranya, pucat layaknya mayat, membuar Danny hampir terjatuh jikalau Jayden tidak menompangnya.

"GIVE ME BACK MY SON!"

Histeris. Hanya satu kata yang melambangkan Danny untuk saat ini. Air matanya mengalir tak karuan. Justin-nya, anak itu, tidak berdosa. Alih-alih merasa kasihan, atmosfer disana semakin menjadi-jadi.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 06 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Regret | TreasureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang