14.

11 10 0
                                    


Ya, rasanya sangat hancur saat ibuku sendiri, mengatakan malu memiliki anak seperti ku. Rasanya benar-benar sakit seperti aku memang tidak diharap kan.

"Mamah, sama Papah pernah sampe sewa guru prifat untuk kamu belajar. Tapi apa?, kamu malah bikin guru itu ngundurin diri buat ngajarin kamu, yang gak pernah bisa di ajarin", ucapnya kembali membentak dan memarahiku.

"Papah sama Mamah, sewa guru itu karna kami peduli sama kamu Ira", Papa angkat bicara.

"Peduli?, Papah sama Mama sewa guru itu biar aku gak ganggu pekerjaan kalian, biar aku gak minta di ajarin suatu pelajaran saat kalian sedang sibuk, bukan karna peduli. Kalo kalian peduli, walaupun aku diajar oleh guru prifat, aku pasti akan di temani kalian, akan di tanya bagaimana tadi belajarnya?, seru atau tidak belajarnya tadi?. Apa pernah Mama sama Papa nanya kayak gitu? " ucap ku kembali bertanya membuat keduanya tertunduk lagi, tak dapat mengatakan apapun.

"Sudahla Ira, Papa sama Mama buru-buru jangan bertanya lagi", ucap Mama, merubah pembicaraan.

Aku berlari menuju kamar ku, menutup pintunya dengan kencang.

"Dasar anak tidak sopan", bicara Miya, sambil menatap kamarku yang baru saja pintunya ku tutup dengan kencang.

"Seandainya saja aku tidak memiliki anak seperti dia, mungkin aku akan lebih bahagia" lanjut Mama.

Aku yang mendengarnya dari balik pintu kamar ku, tak sanggup menahan air mataku yang terus menerus terjatuh membasahi lantai.

"Yaallah, kalo emang gak di ingin kan, kenapa harus di lahirkan?" ucap ku sambil menangis tanpa suara.

Anggara yang mendengar keributan, terus menatap jendela kamar ku tanpa henti.

Aku menonjokkan lengan ku kepada tembok kamar berkali-kali hingga terdengar bunyi sangat kencang, bahkan bunyi tonjokan ku terdengar sampai telinga Anggara yang sedang sibuk memperhatikan jendela kamarku.

"Ira" ucapnya dengan wajah sangat cemas, lalu berlari menuju rumah ku dengan tergesah-gesah.

Belum sempat membuka pintu, pintu sudah di buka oleh Mama dan Papa yang membawa koper menuju mobil,melewati Anggara tanpa menghiraukannya.

Anggara berlari menaiki tangga menuju kamarku.

"RA, IRA! " panggilnya sambil mengetuk pintu kamarku yang terkunci tanpa henti.

"Ra, jawab gua Ra!" panggilnya kembali.

Aku membuka pintu kamar ku, dengan air mata yang masih mengalir dengan deras, Anggara yang mentapku kemudian memelukku dengan erat,
aku menangis di pelukkannya.

"Mama sama Papa gak pernah sayang sama gua Angga, mereka malu punya anak kayak gua", ucap ku sambil terus menangis tersedu-sedu di pelukan lelaki itu

Anggara hanya terdiam, laki-laki itu terus memeluku dengan erat, pelukannya memperlihatkan bertapa dia sangat menyayangiku dan begitu peduli dengan diri ku.

Cukup lama Anggara memelukku, hingga aku berhenti menangis.

"Sini gua liat tangan lo", Anggara meraih kedua tangan ku, yang memar juga bahkan berdarah cukup banyak.

Tapi kali ini Anggara tidak memarahiku atau berkata apapun, saat melihat kuka di lengan ku.

Ia langsung mengambil obat di dalam kotak, kemudian mengoleskannya perlahan.

"Aaaa", aku meringis merasakan perih yang cukup sakit, saat obat mengenai luka di lengan ku.

"Lo tidur ya, tenangin pikiran lo, gua bakal temenin lo di sini", ucap Anggara, lalu aku menidurkan tubuhku di atas kasurku.

Sedangkan Anggara dia menyelimbutiku lalu duduk di kursih belajar ku, sambil terus menatap ku, dengan tatapan sendu.

"Gua kira, kedatangan orang tua lo, bisa bikin lo lebih bahagia dari sebelumnya. Tapi ternyata gua salah, hal itu malah bikin lo semakin sakit," ucapnya dengan tatapan sendu yang tertuju pada ku.

♥♥♥

Aku terbangun akibat mendengan suara tetesan air hujan di luar, lalu kemudian menatap Anggara yang sedang memainkan benda gepeng di tangan nya.

Ponsel.

Aku menatapnya, memperhatikan wajahnya tanpa henti, melihat dari bibir hingga mata indahnya.

Anggara itu sempurna dia tidak jelek sama sekali, dari ujung manapun mata melihat, Anggara tetap tampan.

Anggara kemudiam menatap ku yang terus memperhatikannya, ia mendekat ke arahku kemudian duduk di samping tubuhku.

Laki-laki itu mengusap kepalaku, menyingkir kan rambut yang menghalangi mataku, kemudian mencium pipiku dua kali.

Cup

Hati ku berdebar-debar takaruhan rasanya, jika di peluk sudah biasa, namun di cium, ini adalah kali pertama untuk ku.

Aku menatapnya kaget, terkejut dengan apa yang baru saja Anggara lakukan.

"Gua sayang lo, Ra", ucap nya lalu ikut tidur, di samping ku yang sedang menatapnya.

Jarak wajahku dan wajahnya hanya sekitar 8cm dekatnya, begitu jelas ku menatap wajahnya dari dekat.

Ciuman yang tadi Anggara berikan, masih terasa jelas kecupannya.

Saat Anggara tertidur aku malah sibuk memain kan poni rambutnya, membuat rambutnya tidak rapih seperti sebelumnya.

"Lo ganteng, walau rambut lo acak-acakan sekalipun", ucap ku lalu tersenyum dan kembali mengacak-acak.

Anggara tidak terbangun saat itu, mungkin rasanya seperti aku sedang mengusap kepalanya.

Aku mencubit pipi Anggara, sungguh aku merasa gemas saat menatapnya yang sedang tertidur.

"Ih Anjir, gemoy banget", ucap ku sambil mengunyel-unyel pipi pria itu.

"Ra, gemes ya? ", tanya Anggara yang masih menutup matanya, kepadaku.

Lalu Anggara membukan matanya menatap ku sambil tersenyun.

Aku tersenyum, lalu mencoba merapihkan rambut Anggara seperti sebelumnya.

Tapi tiba-tiba Anggara menarik tangan ku, membuat ku jatuh di atas tubuhnya, lalu memelukku.

Memelukku dengan posisiku yang masih di atas tubuhnya.

"Angga, jangan kayak gini", ucap ku sambil menatap wajah pria itu tanpa henti.

Anggara menaruhku di samping tubuhnya, lalu memelukku kembali.

Rasanya tenang, sangat tenang saat laki-laki itu memelukku, pelukannya seketika dapat membuat ku lupa akan hal yang membuat ku sedih.

Aku harap, pelukan ini akan aku rasakan terus, aku harap Anggara tidak pernah pergi meninggalkan ku seperti Mamah dan Papah.

Ya. Semoga tidak:)

♡♡♡

ANGGARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang