15.

7 7 0
                                    

Sudah biasa rasanya jika hari-hari ku tanpa adanya orang tua yang memberikan kasih sayang kepada anaknya.

Rasanya aku kini sudah terbiasa dengan semua rasa sunyi itu.

Rasanya aku ingin mangeluh kepada tuhan, dan berteriak mengatakan semua ini terlalu tidak adil untuk ku.

Tapi mengapa setiap aku ingin mengeluh, seperti tidak ada suara yang keluar dari mulut ku, aku bagai membisu.

Aku lelah, sangat lelah dengan semuanya, aku juga iri saat melihat anak-anak yang sangat di sayangi orang tuanya, aku iri menatap mereka tersenyum bersama.

"Dasar anak gak berguna, ngelakuin ini itu salah, dasar nyusahin aja kamu!", ucap Miya-ibuku

"Bisanya apa sih kamu?, cuman bisa nangis aja?".

"Kapan kamu bisa pinter Ira, Mama malu, setiap ngambil rapot kamu dan kamu selalu dapat banyak nilai merah!" .

" Mama nyesel lahirin kamu!".

"Lebih baik kamu diam di rumah dan tidak usah sekolah lagi, lagi pula untuk apa sekolah jika kamu tetap menjadi anak yang bodoh!", lanjut makian dari Dion-ayahku

Petkataan cacimakian, dan kemarahan itu selalu berputar mengelilingi kepalaku.

Aku lelah saat mengingatnya, rasanya tubuh yang dulu sekuat besi. Kini rapuh-serapuh dauh kering yang jika sekali remas akan berubah menjadi debu.

Keluhan yang selalu ku lontarkan kepada diriku sendiri, berhasil membuat tubuh ini terasa ripuh.

"Ra, kenapa sih kamu gak pernah bisa kayak yang lain?, kenapa kamu selalu di maki?, kenapa kamu gak bisa berguna kayak yang lain?, kenapa kamu gakbisa dapetin kasih sayang. Kenapa?" keluh ku yang selalu ku ucap kan dalam hati.

ini terasa sangat tidak adil, ini terlalu menyakitkan.

Kalo kalian fikir, Papa tidak pernah memukul ku, kalian salah.

Setiap ada keributan saat mereka sedang ada di rumah, akulah yang di jadikan sasaran empuk kemarahan dan emosi mereka.

Hampir setiap hari, luka lebam di tubuhku bertambah jika Mamah dan Papah pulang.

Tapi rasanya kini tubuhku sudah tidak bisa merasakan sakit lagi, tubuhku seperti mati rasa, pipiku saja seakan-akan sudah tidak dapat merasakan sakitnya tamparan.

Semua rasa sakit yang aku benar-benar rasakan, ada di dalam hati ku yang sudah tidak mampu menampung rasa sakit saat mendengar omongan caci makian mereka.

Tapi aku sedikit merasa senang, karna masih memeliki Anggara dan keluarganya.

Hanya Anggara dan keluarganya yang selalu memberikan kasih sayang dan keperdulian lebih terhadapku, menganggap ku sebagai anak mereka juga, dan membuat rasa canggung ku hilang terhadap mereka.

"Anggara anjier jangan kelitikin gua", ucap ku sambil tertawa tak henti-henti, saat Anggara mengelitiki pinggang ku tanpa henti.

Terdengar suara pintu terbuka.

"Angga, kayaknya ada yang buka puntu", ucap ku lalu bangun dari posisi tidur ku.

"Bentar-bentar gua cek dulu", ucapnya lalu jalan menuruni tangga.

"Angga, Ira", ucap Algar sambil rentangkan tangannya.

"Omm" ucap ku lalu berlari dan loncat, memeluk tubuh pria tinggi itu.
"Aduh Ira, kamu enteng banget sih, kurang makan atau bagaimana? ", ledek Algar.

"Om gak usah ngata-ngatain aku kayak Anggara tadi deh", ucap ku tanpa melepaskan pelukan ku.

"Aduh, om kangen banget sama kamu", ucapnya sambil mencubit pipi ku tanpa henti.

"Sama Anggara enggak? ", ucap Anggara iri.

"Kangen juga lah", Algar menurunkan ku lalu memeluk Anggara.

Begitulah keharmonisan hubungan ku dengan Algar, bagai anak dan ayahnya.

Dia sangat menyayangiku, benar-benar menyayangiku.

"Papa bawain jajanan buat kalian" ucap Algar sambil memberikan 3 kantung pelastik besar kepada ku dan Anggara.

"Mantab, makasih Om", ucap ku sambil tersenyum bahagia.

"Ira matanya bengkak kenapa, kamu habis nangis?", Algar bertanya dengan khwatir.

"Enggak papa Om".

"Jangan bohong, coba cerita".

"Tadi Mama sama Papa pulang, tapi pergi lagi" ucap ku sambil menundukkan kepalaku.

Algar memelukku.

"Sabar ya nak, Anggap Om seperti Papa kamu juga, jangan sedih" ucap nya sambil memelukku, sedangkan aku hanya mengangguk di pelukkannya.

Anggara tersenyum.

"Pah, Anggara di sini dulu ya"

"Iyah, jangan berantem ya", ucap Algar mengingatkan.

"Oke pah"

Algar mengusap kepalaku lalu pergi menuju rumah Anggara.

"Makan-makan", ucap ku yang berlari membawa 2 kantung plastik besar berisi makanan menuju dapur, sedangkan Anggara hanya membawa satu kantung, dan ikut berjalan mengikutiku sambil sesekali tersenyum melihat tingkahku.

"Sok-soan lari-lari, kalo nanti jatoh gua ketawain lo", ucapnya sambil menatap ku.

Algar membukan pintu rumah, menatap istrinya yang sudah siap sambil menyodorkan satu tangannya, berharap akan di beri oleh-oleh untuknya.

Algar memberikan satu tas yang berisi baju juga Aksesoris kepada Clarisa.

Senyum senang tersulam di bibirnya.

"Makasih", ucapnya sambil tersenyum bahagia.

"Tadi Dion dan Miya pulang? ", tanya Algar, sambil menatap serius wajah Clarisa.

"Iya tadi sempat betemu dengan ku, dia bilang akan pergi sangat lama, entah sampai kapan", ucap Clarisa menjawab dengan jujur.

"Kasian Ira, aku kasian terhadap gadis manis itu, yang tidak dapat merasakan kasih sayang dari orang tuanya", ucap Algar sendu.

"Kita juga orang tuanya, kalo mereka tidak bisa menyayangi Ira, biar kita saja yang menyayanginya dan merawatnya", ucap Clarisa sambil mengusap pundak suaminya.

Algar tersenyumm

"Ayok makan, sudah ku buatkan makanan spesyal untuk mu", Clarisa menggandeng tangan Algar, mengajak Algar duduk.

Sedangkan aku yang di rumah bersama Anggara, sedang sibuk membuat mie goreng.

"Angga itu kan mie goreng, kok di kasih kuah?", ucap ku, saat menatap Anggara dengan manyiramkan kuah kedalam mangkuk berisikan mie goreng yang baru saja ku buat.

"Hah, beneran mie goreng?", Anggara terkejut..

"Yah gimana sih", aku menggaruk kepalaku yang tak gatal.

"Gimana dong? ", tanyaku kepada Anggara yang masih terdiam.

"Singkirkan saja, kita masak lagi", ucap Anggara santai ala sultan.

"Ih mubazir", aku lalu mengambil mie itu dan membuang airnya, kemudian menambahkan kecap dan bumbu yang ku racik sendiri.

"Coba Angga. Enak enggak?", ucap ku sambil melilit mie itu menggunakan garpu.

Anggara membukan mulutnya, untuk mencicipinya.

"Eumm, enak Ra", ucap Anggara lalu melahap kembali.

"Yaudah gak usah masak lagi ya, ini aja", Anggara mengangkuk mendengar ucapan ku lalu, aku dannya berjalan menuju sofa sambil membawa satu mangkok besar berisikan mie tadi.

Tak lupa juga membawa cemilan sambil menonton tv.

seketika semua rasa sedihku terlupakan saat bersama Anggara, Anggara selalu mengukir keceriaan saat bersama ku.

Membuat ku lupa akan kesedihan ku dengan cepat.

Dia adalah laki-laki pemberi semangat terbesar dalam hidup ku.

Dia berhasil menjadi Mood boster untuk ku yang rapuh.

♡♡♡

ANGGARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang