Pradnya memasukkan suapan besar nasi goreng ayam di hadapannya ke dalam mulut, membuat Brigitta yang duduk tepat di depannya memandang dengan ngeri. "Pantes aja sampe semester terakhir kuliah nggak pernah dapet pacar, Nya. Makan, tuh, yang anggun kenapa?"
Gusti yang duduk di samping Brigitta mengangkat wajahnya, ikut memandang Pradnya yang kedua pipinya menggelembung seperti ada dua bola pingpong di dalam mulutnya. "Biarin aja, sih, Bri."
Pradnya mengangguk setuju. "Dengerin Gusti, Bri."
"Anya anggun juga belum tentu ada yang mau soalnya," lanjut Gusti, sukses membuat Pradnya melayangkan pukulan tepat di puncak kepala lelaki itu.
Brigitta geleng-geleng kepala. "Anyway, gimana, Nya, udah dapet balesan dari tempat kemarin?"
Frasa tempat kemarin yang dimaksud Brigitta adalah tempat Pradnya melamar sebagai pegawai magang. Di semester terakhir ini, Pradnya dan teman-temannya memang diharuskan untuk magang di sebuah perusahaan, minimal tiga bulan lamanya. Tentu saja demi nilai yang nantinya akan menunjang kelulusan.
Pradnya menggeleng, "Belum untuk diterima atau ditolak, tapi balasan terakhir dia bilang gue akan dikabari malam ini untuk keputusan akhir."
"Tapi, udah interview, kan?" tanya Bri lagi.
Pradnya mengangguk kali ini.
"Ya kali ditolak, Nya. Bri yang males aja bisa diterima." Gusti mengejek Brigitta.
Pradnya terkekeh. "Kalian jadi bareng, dong, magangnya?"
Brigitta kali ini memutar bola matanya malas. "Bosen banget, Nya, gue sama Gusti mulu!"
"Heh, lo nggak perlu susah-susah nyari tempat magang berkat gue, ya." Gusti berucap tak terima. Pasalnya, memang begitu adanya. Di antara mereka, Gusti yang paling pertama mendapat tempat magang, Pradnya saat itu sudah menyerahkan datanya ke sebuah perusahaan rintisan, sementara Brigitta masih kesulitan mencari tempat yang tepat. Kebetulan, salah satu pegawai magang di tempat Gusti harus berhenti dan akhirnya Gusti merekomendasikan Brigitta. Untungnya, kemampuan perempuan itu memang bagus sehingga dia tidak mempermalukan Gusti.
Setelah mencibir pada Gusti, Brigitta kembali memandang Pradnya, "Ya udah, Nya, lo tunggu aja hasilnya hari ini."
Pradnya mengangkat jempolnya sebagai jawaban.
Usai menghabiskan makan malam mereka di sebuah kedai nasi goreng dekat kampus, mereka berpisah menuju tempat tinggal masing-masing. Hari ini mereka bertiga memang pulang lebih malam dibanding biasanya karena ada tugas yang cukup merepotkan.
Terkadang, Pradnya menyukai saat dirinya pulang agak larut, itu membuatnya tidak perlu menghabiskan waktu lama untuk berdiam diri sebelum tidur.
Malam itu, sebelum pergi tidur, Pradnya diam-diam berharap pintu di samping balkonnya akan bergeser lagi nanti. Meski yang dia lihat adalah wajah lelah dan malas, meski yang dia dengar hanya suara galak, meski hanya beberapa menit, Pradnya harap pintu itu bergeser dan dia tidak akan sendirian lagi dini hari nanti.
Namun, tentu saja, itu hanya harapannya. Karena pagi itu, tidak ada lagi Adimas.
Besoknya, Pradnya mendapat panggilan dari tempatnya melamar untuk magang, seperti dugaan dia dan teman-temannya, Pradnya diterima. Sebetulnya, tempat tersebut bukan prioritas yang Pradnya inginkan, karena jaraknya yang cukup jauh dari kampus dan tempat tinggalnya. Akan tetapi, saat kepepet begini, Pradnya tentu saja tak punya banyak pilihan. Alhasil, pagi-pagi sekali Pradnya sudah bersiap demi sampai di sana tepat waktu. Terlambat di hari pertama tentu akan meninggalkan kesan buruk.
KAMU SEDANG MEMBACA
03.45
ChickLit[Update ulang dengan revisi setiap Minggu, Rabu, Jumat] Semenjak kecelakaan yang merenggut nyawa ayah serta membuat ibunya tak bisa sembuh, Pradnya Nathania selalu terbangun dari tidurnya setiap pukul 03.45 pagi. Selain itu, keganjilan pun dialami P...