Dengan wajah cemas, Pradnya memandangi jalanan di balik kaca jendela kafe tempatnya duduk. Sementara matanya menajam setiap ada mobil menepi di depan kafe. Setelah dua puluh menit Pradnya menunggu dengan gusar, akhirnya orang yang ia tunggu tiba.
"Maaf, ada yang perlu saya selesaikan. Jadi, ada hal mendesak apa?" tanya lelaki yang Pradnya tunggu itu tanpa basa-basi, tepat sesaat setelah ia duduk di hadapan Pradnya.
Pradnya belum mengatakan apa-apa bahkan saat Abdi, ayah Adimas, menatapnya penuh tanda tanya.
"Pradnya?"
"Pak Adimas hilang, Om," ujar Pradnya pada akhirnya. Perempuan itu benar-benar tidak bisa menemukan kata yang tepat saat ini, tapi sudah dua hari berlalu sejak Adimas terlihat terakhir kali. Di apartemennya, membicarakan tentang kesiapan.
Alis Abdi bertaut. "Hilang?"
Pradnya mengangguk hati-hati. "Sudah dua hari Pak Adimas nggak pulang."
Abdi menatap Pradnya dengan tatapan tak habis pikir. "Pradnya, Adimas itu punya perusahaan. Bukan hal yang mengherankan kalau seorang bos tidak kelihatan berhari-hari. Dia mungkin sedang perjalanan bisnis?"
Seandainya Pradnya bisa berpikir begitu, tentu segalanya akan lebih mudah.
Gelengan Pradnya membuat Abdi menghela napas. "Ada apa?"
Berkat pertanyaan itu, Pradnya dengan hati-hati bercerita pada Abdi. Dimulai dari keanehan pertama yang muncul pada Adimas saat lelaki itu tahu kalau kecelakaan yang menimpa keluarga Pradnya sama sekali tak ada hubungannya dengan Adimas, sampai dua hari lalu saat Adimas mengatakan kalau dia tidak akan pernah siap dengan kenyataan apa pun yang menunggunya.
Sepanjang Pradnya bercerita, sekali dia mendapati Abdi terkejut bukan main, seolah kaget dan merasa terpukul. Namun, tak butuh waktu lama bagi ayah Adimas itu untuk segera menetralkan ekspresinya.
Usai Pradnya bercerita, helaan napas panjang Abdi terdengar. "Saya tahu hari ini akan tiba. Saya tahu pasti. Meski saya sudah berusaha sebaik mungkin untuk menutupi segalanya, tapi saya tahu betul yang saya lakukan hanya menunda, bukan menghentikan."
Mendengar pernyataan Abdi yang tidak berkaitan dengan ceritanya, Pradnya mengernyit heran lantas berpikir apakah memanggil Abdi adalah tindakan yang tepat. Namun, sepertinya sudah terlambat untuk menyesal.
"Maaf karena telah melibatkan kamu, Pradnya, ... tapi saya memang sengaja membuat Adimas berpikir kalau dia ada kaitannya dengan kecelakaan yang menimpa keluargamu."
"A—apa?" Pradnya tertegun. Atas dasar apa seorang ayah membuat anaknya berpikir kalau dirinya adalah seorang penyebab kecelakaan orang lain?
Abdi menghela napas berat. "Saya melakukan itu karena saya harus menutupi kecelakaan yang lain," ucap Abdi rasanya memberi jawaban atas kebingungan Pradnya, tapi di saat yang sama juga menimbulkan lebih banyak pertanyaan.
"Di hari yang sama dengan kecelakaan yang terjadi pada keluargamu, Adimas memang mengalami kecelakaan. Dan, kecelakaan itu, ..." Abdi menahan napas sebelum melanjutkan, "... menewaskan ibunya. Istri saya."
Pradnya terkesiap seketika. Perempuan itu tak bisa mengatakan apa-apa karena dilanda keterkejutan luar biasa.
"Anak itu manja, Pradnya." Sudut bibir Abdi terangkat. "Dia tidak akan bisa hidup tanpa ibunya, dan memang begitu adanya. Tapi, Pradnya, dia mungkin tidak akan pernah memaafkan dirinya sendiri kalau dia tahu ibunya meninggal ketika sedang bersamanya."
KAMU SEDANG MEMBACA
03.45
ChickLit[Update ulang dengan revisi setiap Minggu, Rabu, Jumat] Semenjak kecelakaan yang merenggut nyawa ayah serta membuat ibunya tak bisa sembuh, Pradnya Nathania selalu terbangun dari tidurnya setiap pukul 03.45 pagi. Selain itu, keganjilan pun dialami P...