Epilog: Menuju Selamanya

3.2K 540 24
                                    

"Aku udah lama pengen tanya ini sama kamu."

Suara Pradnya yang muncul dari sebelahnya membuat Adimas menoleh. Setelah beberapa bulan kepulangannya, ia kembali menjalani hidup sebagai Adimas yang dulu. Bekerja seolah perusahaannya akan bangkrut besok, berolahraga dengan Ryan dan Malvin meski tetap makan sop kambing setelahnya, dan tentu saja, menjadi pacar Pradnya.

Awalnya, Adimas tak berharap banyak. Pergi untuk waktu yang lama tentu bisa mengubah banyak hal. Ia kira, termasuk mengubah perasaan Pradnya. Namun, perempuan itu begitu setia. Meski Adimas diserang habis-habisan oleh pukulan tangan kecil Pradnya—yang tentu tak sedikit pun menyakitinya—dan dimaki habis-habisan juga oleh tangisan Pradnya—yang ini menyakitinya—tetapi, perempuan itu tetap menerima kepulangan Adimas dengan lapang dada. Nol koma nol sekian persen yang Adimas doakan setiap hari sebelum akhirnya ia memutuskan untuk benar-benar pulang.

"Apa? Kamu nggak akan ngelamar aku, kan? Udah aku bilang, itu tugasku, jadi—"

"Ngaco!"

Adimas meringis begitu pukulan kecil mendarat di lengannya. Namun, ia lantas terkekeh. "Tanya aja."

"Aku nggak pernah tau kapan waktu yang tepat untuk tanya sama kamu karena aku nggak tau kapan kamu siap untuk—"

"Tuh, kan. Bridging-nya udah kayak mau ngelamar banget."

"Adimas!" Pradnya mendengus keras sambil memelotot. Perempuan itu tak bisa menyembunyikan kebingungannya, sebab sejak kembali pulang setelah "menghilang", Pradnya merasa ada yang berubah dari Adimas—Pradnya pun pernah mengatakan ini pada Adimas—ia merasa kalau Adimas lebih luwes dan jadi suka bercanda. Ia pikir, itu pasti karena sesuatu yang telah terjadi kepada Adimas saat lelaki itu menghilang.

"Iya, iya, maaf. Kenapa?"

"Sebenernya, selama ini kamu menghilang ke mana?" Tak mau berbasa-basi karena takut dipotong lagi oleh Adimas, kali ini Pradnya benar-benar mengungkapkan pertanyaan yang terus bergumul di kepalanya sejak Adimas tiba-tiba muncul kembali di balkon apartemennya.

Adimas yang kelihatannya sudah menduga bahwa pertanyaan itu yang akan datang, tersenyum lembut, menatap Pradnya sesaat, lalu memandang lurus ke depan. Menatap pemandangan biasa di balkon apartemennya yang sempat menjadi hal yang paling ia rindukan.

"Aku mencari banyak cara untuk bunuh diri."

"Apa?!" Pradnya membelalak tak percaya, tubuhnya sampai menghadap Adimas sepenuhnya.

Adimas terkekeh lalu mengusap puncak kepala Pradnya dengan lembut. "Kalau isi kepala kamu saat ini adalah aku minum obat-obatan dalam dosis besar, gantung diri pakai tali pramuka, silet-siletin tangan, stop. Karena aku nggak melakukan itu semua."

"Terus maksud kamu apa?" Pradnya tak sabar.

"Aku ke perbatasan."

Pradnya mengernyitkan kening. Mencari tahu maksud perbatasan dalam konteks kalimat Adimas, lalu setelah tersadar, tangannya terangkat untuk menutup mulut.

"Aku melakukan pekerjaan sukarela di sana. Kadang membantu mencari dan mengumpulkan makanan, kadang membantu membopong orang yang terluka, kadang membantu menyiapkan tempat istirahat. Aku melakukan apa pun yang bisa aku lakukan."

Pradnya yang tak mampu berkata-kata tetap bergeming di posisinya. Yang pasti, dia kini tahu alasan kenapa setelah menghilang, kulit Adimas lebih gelap dan badannya menjadi lebih berotot. Dia benar-benar melakukan pekerjaan di 'lapangan', pekerjaan yang paling berat di antara semua pekerjaan lapangan lain.

"Di sana, Pradnya, aku bisa mendengar suara tembakan setiap waktu. Beberapa hari sekali bahkan terdengar suara bom. Itu caraku untuk bertaruh dengan nyawa. Aku siap untuk mati kapan pun. Aku siap diambil Tuhan kapan pun. Karena aku tahu memang seharusnya seperti itu. Aku telah banyak berutang nyawa."

Kali ini, dalam diamnya, Pradnya mulai berkaca-kaca. Luka itu ternyata telah merasuki Adimas begitu dalam.

"Tapi, aku juga bertekad. Jika aku tetap diberi kesempatan untuk hidup oleh Tuhan bahkan di tengah medan perang begitu, artinya Tuhan memang ingin aku hidup. Karena itu, setelah bertahun-tahun berhasil bertahan di sana, akhirnya aku memutuskan untuk pulang." Adimas meraih jemari Pradnya. "Pulang dan menghargai kehidupan yang Tuhan berikan. Makanya, aku hanya akan melakukan apa yang aku mau mulai sekarang. Ini adalah caraku berterima kasih kepada Tuhan atas kesempatan paling menakjubkan yang bisa aku terima."

Tanpa berniat mengatakan apa-apa, Pradnya mendekatkan tubuhnya dan memeluk Adimas. Membawa Adimas ke dalam dekapannya, mengusap punggungnya dengan lembut, dan berharap bisa menyalurkan seluruh rasa sayangnya kepada lelaki itu dengan cara tersebut.

"Aku bukannya bisa bertahan dengan utuh dalam beberapa tahun ini. Aku satu kali tertembak di perut dan dua kali di bahu. Tapi, aku masih hidup. Hebat, ya?"

Di tengkuk Adimas, Pradnya mengangguk pasti. "Iya. Kamu hebat." Sudah sejak lama dan akan selalu begitu, lanjutnya dalam hati.



[]



Sekarang,

benar-benar selesai.

03.45Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang