Beberapa pertemuan memang sudah digariskan bahkan sebelum manusia menyadari dirinya adalah manusia, dan Pradnya percaya itu. Pertemuan-pertemuannya dengan Adimas tak pernah terasa masuk akal, seolah dunia menyempit dan sengaja menghimpit mereka berdua agar kerap bertemu pada waktu dan tempat tertentu. Pradnya ingat pertemuan pertamanya dengan Adimas yang penuh kesalahpahaman, ketika Pradnya mengira lelaki itu berniat bunuh diri. Tak berselang lama, Adimas menumpahkan kopi di pakaian Pradnya. Seolah kebetulan itu saja belum cukup, Pradnya bekerja di tempat milik Adimas. Seolah belum cukup juga, ibunya bahkan dirawat di bawah naungan keluarga Adimas.
Senyum simpul keluar dari bibir Pradnya ketika ia kembali mengingat obrolannya dengan Bu Suci beberapa waktu lalu.
"Mas Adimas ke sini, bilang mau ngobrol sama ibumu saat kondisinya baik."
Mungkin saja, Adimas memang hadiah yang dikirim Tuhan untuk meluluhkan hati ibunya.
Senyuman Pradnya semakin melebar saat matanya memandang ibunya yang tengah tertidur lelap di atas ranjang sanatorium. Setelah wanita itu mendatangi Pradnya di apartemennya dan menyelesaikan segala yang buruk di antara mereka, Pradnya dengan hati berbunga ikut mengantar ke sanatorium. Dalam perjalanan, ibunya mulai kembali tak mengingat apa-apa dan menganggap Pradnya orang asing.
"Saya mau jemput anak saya sekolah," katanya di dalam bus.
Pradnya tetap tak melunturkan senyumnya sambil mengangguk mengerti. Kini, wanita itu telah tertidur, kelelahan karena perjalanan jauh yang pasti sudah sangat lama tak ditempuhnya.
"Nya?" Brigitta menghambur masuk ke dalam ruang rawat Maya dengan napas terengah, di belakangnya, Gusti mengikuti. Tanpa kata-kata, Brigitta langsung membawa Pradnya ke dalam pelukannya dan perempuan itu mulai menangis.
Pradnya terkekeh sambil mengusap punggung Brigitta. "Yang dimaafin, kan, gue, Bri. Kenapa lo yang terharu?"
"Gu—gue ... Nya ... gue seneng banget, Nya. Ya Tuhan, makasih." Brigitta mengutarakan perasaannya sambil terisak.
Masih dalam pelukan Brigitta, Pradnya melirik Gusti yang hanya menatap mereka dalam diam, tapi untuk pertama kali, Pradnya melihat senyum paling tulus dan penuh kelegaan di wajah Gusti.
"Ayo, keluar, nanti Tante Maya bangun," ajak Gusti sambil berbalik dan keluar dari ruangan itu.
Pradnya melepas pelukan Brigitta dan mengusap wajah basah sahabatnya itu sambil terkekeh. Mereka berdua mengikuti Gusti menuju parkiran di mana mobil Brigitta terparkir.
Tak lama setelah kedatangan Brigitta dan Gusti, Pradnya pamit pulang agar ibunya bisa beristirahat. Suster Vania memeluknya dengan hangat dan mengatakan kalau dia amat bersyukur karena penatian Pradnya selama lima tahun telah terbayarkan.
Bu Suci menggenggam tangan Pradnya dengan erat dan berkata kalau Pradnya sebaiknya berterima kasih kepada Adimas—yang tentu saja akan Pradnya lakukan tanpa diminta oleh siapa pun.
Setelah itu, Pradnya ikut bersama dengan Brigitta dan Gusti dalam mobil Brigitta. Brigitta yang duduk di kursi belakang bersama Pradnya tak henti-hentinya menatap Pradnya dengan takjub, apalagi sejak Pradnya menceritakan adanya keterlibatan Adimas dalam hal ini.
"You guys really meant for each other, Nya."
Pradnya terkekeh pelan mendengar kesimpulan Brigitta yang entah kenapa membawa kehangatan dalam dirinya.
"Lo mau makan apa, Nya? Hari ini gue yang traktir," kata Gusti dari balik kemudi.
Pradnya dan Brigitta sontak saling pandang dengan antusias, sungguh sebuah kesempatan yang tidak boleh dilewatkan!
KAMU SEDANG MEMBACA
03.45
ChickLit[Update ulang dengan revisi setiap Minggu, Rabu, Jumat] Semenjak kecelakaan yang merenggut nyawa ayah serta membuat ibunya tak bisa sembuh, Pradnya Nathania selalu terbangun dari tidurnya setiap pukul 03.45 pagi. Selain itu, keganjilan pun dialami P...