Dibatasi oleh dua pagar masing-masing balkon dan ditemani angin tengah malam kota yang entah mengapa terasa menyesakkan, Pradnya dan Adimas duduk di lantai. Saling menghadap, saling menatap. Tak ada yang berbicara. Mereka membiarkan suara bising kendaraan dan klakson yang masih bersahutan di bawah sana menjadi satu-satunya yang terdengar.
Tak tahan melihat Adimas yang terus menunduk seolah kehilangan gairah hidup, Pradnya menghela napas dan mengulurkan tangannya melalui sela-sela pagar untuk meraih jemari Adimas dan menggenggamnya.
"Saya nggak menyalahkan kamu yang merasa bersalah, Adimas. Kamu dulu sampai menjauhi saya karena merasa bersalah untuk sesuatu yang sebenarnya nggak kamu lakukan. Perasaan bersalah kamu saat ini ... valid. Dan, kamu boleh merasakan itu." Pradnya tak melepaskan pandangannya dari Adimas yang masih bergeming di posisinya.
"Tapi, Adimas, saya benar-benar mau kamu tahu kalau semua orang melakukan kesalahan. Kesalahan yang besar, tapi hanya sekali. Kesalahan kecil, tapi berulang kali. Atau justru kesalahan kecil yang hanya sekali. Bahkan mungkin, kesalahan besar berulang kali. Semua orang. Semua orang melakukan itu." Pradnya melanjutkan, berusaha setenang mungkin dengan harapan hal itu bisa ikut menenangkan Adimas.
Adimas menatap Pradnya sesaat sebelum kembali mengalihkan pandangannya. "Kesalahan yang saya lakukan tak termaafkan, Pradnya."
Kali ini, Pradnya tersenyum. "Oleh siapa?"
Adimas tertegun karena pertanyaan itu. Dia menatap Pradnya yang kini sedang mengelus punggung tangan Adimas dengan lembut.
"Ayah kamu adalah orang pertama yang memaafkan kamu, Adimas. Tepat setelah apa yang terjadi. Bukan marah besar, mendiamkan, atau memukul, kamu tahu sendiri dia memilih untuk menutupi segalanya. Dia memilih untuk melindungi kamu. Kamu tahu kenapa? Karena dia nggak ingin kehilangan kamu juga."
Terdengar helaan napas Adimas, matanya yang memerah mulai berkaca-kaca. Namun, sepertinya mata itu telah terlalu lelah untuk menitikkan air karena sudah terlalu banyak yang keluar sebelumnya.
"Dan, mama kamu yang luar biasa itu, menurut kamu dia akan melihat kamu dari atas sana dengan perasaan benci? Kamu yang paling kenal dia, apa menurut kamu dia nggak bisa memaafkan kamu?"
Adimas sekali lagi tertegun. Seolah tersadar bahwa ibunya adalah orang paling baik di dunia. Ibunya tak pernah sekali pun tidak memaafkan kesalahan Adimas. Adimas teringat bahwa dulu, dirinya bahkan sangat sering membuat sang ibu kesal, tetapi tak sekalipun wanita itu memarahinya. Tak sekali pun.
"Adimas." Pradnya kini membuat Adimas balas menatapnya. "Jangan begini. Kamu pantas menerima banyak cinta di dunia ini. Kamu harus hidup. Untuk ayah kamu yang selama ini mati-matian melindungi kamu dalam diam meski dibenci. Untuk ibu kamu yang luar biasa. Untuk saya yang merasa bahwa kehadiran kamu di dunia ini adalah hadiah paling indah dari Tuhan. Dan, untuk diri kamu sendiri."
Untuk pertama kalinya dalam seminggu ini, sudut bibir Adimas sedikit terangkat. Dengan lemah, lelaki itu membalas genggaman Pradnya di antara jemarinya. "Pradnya, sungguh, terima kasih karena telah hadir dalam hidup saya."
Pradnya tersenyum. "Saya akan lebih berterima kasih kalau kamu tetap berada di samping saya sampai selamanya."
Dan, meski butuh waktu yang cukup lama, Adimas akhirnya menjawab dengan anggukan.
***
Seminggu kemudian, meski tak ada yang menyangka dengan perubahannya yang begitu mendadak, Adimas sudah kembali melanjutkan hidup. Setelah mengobrol dengan Pradnya di balkon, Adimas merapikan kembali rambutnya, mencukur bulu halus di wajahnya, makan dengan baik, dan kembali sibuk bekerja. Hal itu tentu membuat semua orang tenang, apalagi para karyawan Adimas yang kelimpungan karena ketiadaan bos mereka. Sementara Pradnya, karena waktu magangnya sudah habis, sudah tak lagi bekerja di sana. Bukannya dia menolak tawaran Adimas sebelumnya—yang mengatakan kalau Pradnya mau, Pradnya bisa menjadi pegawai tetap di sana—tapi Pradnya merasa tidak nyaman secara emosi jika harus satu kantor dengan Adimas. Apalagi mereka menjalin hubungan, meskipun sekarang tidak tahu statusnya apa. Sebab, setelah terakhir kali Adimas memutuskan hubungan mereka, tak pernah ada yang mengungkitnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
03.45
ChickLit[Update ulang dengan revisi setiap Minggu, Rabu, Jumat] Semenjak kecelakaan yang merenggut nyawa ayah serta membuat ibunya tak bisa sembuh, Pradnya Nathania selalu terbangun dari tidurnya setiap pukul 03.45 pagi. Selain itu, keganjilan pun dialami P...