Bab 18: Ingatan

3.3K 571 28
                                    

Adimas menerobos masuk ke dalam salah satu kamar di sanatorium ketika mendapati pemandangan yang tak pernah satu kali pun muncul dalam bayangannya. Lelaki itu melewati beberapa suster yang entah kenapa hanya menonton di ambang pintu seolah di hadapan mereka ada pertunjukan sulap, bukannya seorang pasien tengah menjambak Pradnya-nya sambil mengeluarkan makian-makian yang memekakkan telinga.

Melihat kehisterisan yang sangat mengganggu itu, Adimas sadar ia tak bisa bertingkah seenaknya. Alih-alih menyentak atau melawan, Adimas dengan segera mengambil posisi di antara dua orang itu, membelah jambakan pasien tersebut dengan badannya, dan berdiri tepat di hadapan Pradnya. Di belakangnya, Adimas bisa merasakan tubuh Pradnya yang tiba-tiba menegang, mungkin tak menyangka Adimas akan muncul dalam keadaan seperti ini.

"Berhenti," katanya tajam.

Pasien itu menggertakkan rahang sambil menatap Adimas garang sementara lelaki itu menoleh kepada para suster untuk segera mengambil tindakan. Paham, Suster Viana langsung melangkah maju dan menangani pasiennya. Sementara Adimas menarik pergelangan tangan Pradnya untuk keluar dari sana tanpa menoleh apalagi berkata-kata.

Adimas membawa Pradnya masuk ke dalam mobilnya dan ia sendiri duduk di bangku pengemudi. Ini adalah hari Minggu biasa, seharusnya begitu. Tidak seperti minggu lalu, Adimas memang sudah menjadwalkan diri untuk mengecek keadaan sanatorium. Ia pergi seperti biasa tanpa tahu kalau Pradnya juga ternyata ada di sana. Begitu sampai, bukannya disambut oleh sapaan Bu Suci, Adimas mendengar teriakan histeris yang memekakkan bukan hanya telinga, tetapi juga jiwanya.

"Kamu membunuh dia! Anak sialan, kamu membunuh suamiku!"

Dan, betapa kaget Adimas ketika menemukan teriakan itu bersamaan dengan adegan menjambak penuh tangisan. Yang melibatkan Pradnya. Itu yang membuat Adimas merasa tak bisa berdiam diri. Apalagi pipi gadis itu kini terlihat memar. Membayangkan apa yang mungkin terjadi, dada Adimas sesak seketika.

"Tunggu di sini," ucap Adimas pada Pradnya yang sejak tadi hanya menundukkan kepala. Tanpa menunggu jawaban, Adimas turun dari mobilnya dan berjalan kembali menuju sanatorium. Seperti dugaannya, Bu Suci berdiri di ambang pintu utama dengan wajah cemas, menunggunya.

"Saya minta kompresan, Bu."

Bu Suci segera mengangguk dan memanggil suster paling dekat dengannya untuk menyediakan kompresan.

"Dimas —"

"Nggak apa-apa, Bu." Adimas menyela ketika mendapati Bu Suci yang kelihatannya hendak menjelaskan apa yang baru saja terjadi pada Adimas. "Karena saya kenal Pradnya secara pribadi, rasanya kurang sopan kalau saya memanfaatkan posisi saya untuk tahu masalahnya. Saya akan menunggu dia yang cerita, kalaupun dia memilih tidak, saya akan terima."

Bu Suci menatap Adimas penuh keteduhan, lalu mengangguk dengan senyuman.

Setelah menerima kompresan yang ia minta, Adimas kembali menuju mobil dengan langkah-langkah lebar.

"Pakai," kata Adimas menyerahkan kompresan berisi es batu kepada Pradnya ketika ia sudah duduk kembali di belakang kemudi.

Tanpa menatap Adimas, tangan kecil Pradnya meraih kompres itu dan menempelkannya di pipi kiri. Adimas menghela napas dan bersandar, menatap kosong ke depan.

"Kamu masih mau di sini atau pulang?" tanya Adimas setelah membiarkan keheningan mengisi ruang di antara mereka selama beberapa waktu.

Untuk pertama kalinya sejak bertemu Adimas hari itu, akhirnya Pradnya menoleh dan mata mereka bertemu. "Pulang."

03.45Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang