Bab 16: Rahasia

3.5K 615 60
                                    

"Nya, gue rasa lo pernah nyelamatin nyawa dia di kehidupan sebelumnya, deh. Makanya sekarang tukeran, dia yang jadi penyelamat lo untuk menyembuhkan segala trauma yang selama lima tahun ini gangguin lo!" Brigitta berasumsi begitu Pradnya selesai bercerita.

Pradnya lantas mengingat lagi malam di mana dia kembali menginap di tempat Adimas yang baru sempat dia ceritakan kepada Brigitta. Ketika untuk pertama kalinya dalam hidup, Pradnya dibangunkan oleh alarm ponselnya. Padahal, biasanya Pradnya sudah menunggu alarmnya berbunyi dengan mata terbuka. Namun, ketika dia bersama Adimas, lagi-lagi dia berhasil melewati pukul 03.45. Tepat pukul enam pagi, alarm Pradnya berbunyi dan dia terbangun seketika. Mendapati Adimas yang sepertinya ketiduran si sofa single yang terletak di sisi kanan sofa yang ia gunakan tidur. Adimas tidur dengan kacamata masih bertengger di wajahnya, di meja terdapat laptop Adimas dan beberapa dokumen. Tak mau mengganggu, akhirnya Pradnya bangun dan keluar dari sana diam-diam, tanpa suara.

Setelah beberapa hari berlalu, Pradnya akhirnya bisa menemukan waktu yang pas untuk bertemu dengan Brigitta secara langsung di sela-sela jam istirahat, supaya Pradnya bisa meminta pendapat perempuan itu secara langsung.

"Masa, sih, Bri?" Pradnya terdiam. "Bri, kalau gue pikirin, memang semuanya aneh. Maksud gue, antara Pak Adimas dan gue. Pertemuan-pertemuan awal kami, semuanya sial. Tapi, ... setiap pertemuan dengan dia, seolah menjadi jalan untuk membuka pertemuan lainnya. Gue tau ini mungkin kedengeran freak, tapi gue seperti merasa ini takdir. Dia ... sebenernya siapa, Bri? Apa hubungan dia sama gue?" Pradnya bertanya-tanya, meski dalam benaknya ada lebih banyak pertanyaan yang tak terjawab, nyatanya hanya itu yang bisa keluar melalui mulutnya.

Brigitta yang bisa dengan jelas menangkap kegundahan Pradnya langsung mengusap lengan sahabatnya itu. "Nya, udah, nggak perlu terlalu dipikirin. Mana Pradnya yang selalu berpikir sederhana? Anggap aja, ini hadiah dari Tuhan. Hadiah karena lo udah kuat banget selama ini, hadiah karena lo selalu sabar dengan kemalangan yang datang ke elo. Oke?"

Pradnya memandang Brigitta ragu, tapi ternyata Brigitta berkebalikan, tatapannya penuh keyakinan dan memberi dorongan penuh semangat pada Pradnya. "Meskipun ternyata memang ada sesuatu di antara kalian, lo nggak perlu terlalu mikirin itu. Ya, kan? Kalau memang dia untuk lo, bagaimanapun caranya, dia nggak akan jatuh di tangan yang salah."

Pradnya terkekeh mendengar kesimpulan akhir Brigitta, karena sesungguhnya, dibanding dengan memikirkan kalau ia harus memiliki Adimas karena lelaki itu secara tidak langsung menyembuhkannya, Pradnya lebih memikirkan alasan yang ada di balik itu semua. Dan, jujur saja, perasaannya tidak enak.

Begitu Pradnya dan Brigitta saling bertukar dadah karena waktu istirahat sudah habis, mereka pun berpisah. Pradnya memesan ojek online untuk membawanya kembali ke kantor, sementara Brigitta dijemput Gusti yang kebetulan habis mengecek sesuatu terkait pekerjaannya sehingga lelaki itu masuk siang.

Begitu turun dari ojek online tepat di depan kantor, Pradnya tak langsung masuk. Sesuatu lagi-lagi mendatanginya. Setelah beberapa waktu ini hidupnya terasa tenang tanpa melihat adegan-adegan mengerikan, kabut gelap itu lagi-lagi mendatanginya. Asap abu-abu yang ia yakin hanya bisa ia lihat itu datang dari gang kecil di antara kantornya dengan sebuah gedung perusahaan dua puluh lantai di sampingnya. Meski dipenuhi keragu-raguan, Pradnya memilih untuk mengintip.

Sambil mengepalkan kedua tangan, Pradnya melihat seorang lelaki seumuran Adimas—mungkin—sedang menginjak rokok yang masih sisa setengah. Wajahnya terlihat kuyu dan kelelahan. Badannya telihat cukup kurus untuk ukuran badan lelaki seumuran itu. Kabut gelap yang sebelumnya terkumpul di antara gang kecil itu, kini mulai menyelimuti si lelaki. Tanpa alasan, detak jantung Pradnya mulai tak karuan. Apa yang akan terjadi?

03.45Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang