"Kalian istirahat dulu ya, kita berangkat jam setengah satu aja."
Perintah Keenan begitu ia dan adik-adik kembali ke rumah selepas kunjungan mereka ke makam kedua orang tuanya.
Sebelum masuk ke kamar masing-masing, Keenan sempat memastikan keadaan Nadia sebelum ia membeberkan seluruh kisah keluarganya.
Dan Keenan sungguh terkejut setelah mendengar jawaban Nadia.
"Nadia baik-baik aja kok, meskipun bakal dibikin kaget terus tapi gapapa, kan ini yang Nadia tunggu dari dulu."
Senyum lega jelas terpancar pada wajah Keenan. Keputusan yang ia ambil ternyata tidak sepenuhnya salah.
Nadia itu tipikal gadis yang suka memikirkan banyak masalah atau bahasa lainnya overthink. Keenan menyadari itu ketika Nadia duduk dibangku kelas 2 sekolah dasar.
Nadia kecil selalu berprasangka buruk dan berkata bahwa waktu hidupnya tak lama lagi. Bisa saja paru-parunya tiba-tiba tak berfungsi karena penyakit bawaannya.
Maka dari itu, Keenan berusaha menyimpan rahasia keluarga rapat-rapat. Semata-mata ia ingin Nadia hidup tanpa memikirkan hal yang lalu.
"Oh iya inhealer-nya!"
Nadia kini tengah mengemas beberapa pakaian dan perlengkapannya untuk berkunjung ke Malang.
"Kata Mas Keenan, di Malang lumayan dingin, kayaknya harus bawa jaket double deh," gumamnya.
Ia mengibaskan jaket yang baru saja diambil dari lemarinya. Agak berdebu.
Bersamaan dengan itu, pintu kamarnya yang berwarna merah muda itu terbuka. Tidak lebar, hanya sekitar 10 cm.
"Mas Hendrik!" sapa Nadia.
Hendrik hanya tersenyum konyol. Ia duduk di ranjang tidur milik Nadia sambil memperhatikan adiknya yang melipat 2 jaket.
"Bawa dua jaket, Nad?"
Nadia menganggukkan kepalanya. "Kata Mas Keenan, di Malang lumayan dingin. Takut asmaku kambuh, jadi jaga-jaga bawa dua."
Hendrik sungguh tidak tega setiap mendengar Nadia membicarakan penyakitnya.
"Akhir-akhir ini sesek gak?"
Nadia menggeleng. "Gak sesek sih. Terakhir minggu kemarin gak bisa tidur soalnya suhu AC nya terlalu dingin," jawab Nadia.
Hendrik lalu berdiri, mengambil tiga botol obat-obatan berukuran sedang yang masih tergeletak di meja belajar.
"Nih, awas ketinggalan."
Nadia lalu tersenyum lebar hingga menunjukkan deretan giginya sembari menerima obat-obatan miliknya.
"Makasih, Mas."
Hendrik mengangguk-anggukkan kepalanya lagi. Sedangkan Nadia menutup resleting tasnya.
"Nadia tadi kok gak kaget?"
Nadia menaikkan sebelah alisnya. "Sebenernya Nad udah nebak, lagian nama Mas kan nggak ada di KK."
Hendrik memukul kepalanya pelan lalu tertawa cukup keras. Menertawakan kebodohannya, Dasa dan Keenan.
"Oh iya."
"Kalau segampang itu, kenapa harus disembunyiin segala?" tanya Nadia.
Hendrik lalu mengangkat kedua tangannya, memegang kedua sisi dari pipi gembul Nadia.
"Karena Mas Keenan gak mau kita semua terbelenggu sama yang lalu, makanya Mas Keenan berusaha nutup celah."
"Tapi menurut Nadia, itu gak bener juga. Karena gimanapun kita kan keluarga, satu sakit pasti yang lain juga ngerasain, gak bisa dirasain sendiri."
Hendrik melebarkan senyumnya. Benar kata Keenan, Nadia sekarang sudah besar.
"Iya, makanya Mas ke sini cuma mau bilang kalau dari kejadian ini Nad harus bisa ngambil sisi baiknya dan buang yang buruk-buruk, oke?"
"OKEIII."
Nadia memeluk Hendrik untuk beberapa saat. Hendrik mungkin bukan saudara kandungnya, tapi keberadaannya memiliki kedudukan yang sama seperti Keenan dan yang lain.
☆☆☆
Duhhh bentar lagi harus pisah sama penghuni rumah Nadia ini :(
KAMU SEDANG MEMBACA
Nadia The Explorer [✓]
FanfictionHidup sebagai Nadia yang dilahirkan sebagai si bungsu dengan sembilan kakak laki-lakinya apakah cukup menyenangkan?