27: Taman dan Nadia

277 55 0
                                    

Nadia sudah mendengarnya. Sekarang semuanya menjadi sangat jelas. Tak ada lagi pertanyaan ini dan itu yang berterbangan di kepalanya.

Gadis berusia 17 tahun itu meletakkan tas berisi baju-baju sisa menginap di Malang. Ya, ia baru saja sampai dan semua kakak-kakaknya tertidur saking lelahnya.

Berbeda dengan Nadia yang meraih dompet dan ponselnya lalu berjalan keluar secara diam-diam. Selama 17 tahun hidup, ini adalah kali pertama ia keluar tanpa ijin dari siapapun di rumah.

Sebenarnya Nadia sendiri bingung harus pergi ke mana, apalagi ia tak bisa membawa motornya karena kuncinya masih dipegang Dean. Sehingga ia hanya berjalan menjauhi rumahnya.

Ngomong-ngomong tenang saja, kali ini Nadia tidak lupa dengan inhealer nya yang sudah setia di dalam dompetnya.

Dipikir-pikir, beberapa hari terakhir ini, Nadia tidak merasakan sesak berlebihan di dadanya. Dan dia diam-diam berharap perjalannya ini tidak akan memicu si asma keluar.

Ini masih siang hari. Meskipun jarum pendek di jam tangan Nadia sudah melewati angka dua belas, tetapi itu berlangsung belum lama.

Udara sejuk dengan langit yang tertutup awan gelap membuat Nadia cukup bersyukur ia tidak akan kepanasan nantinya.

"Gue harus ke mana ya?" tanya Nadia pada dirinya sendiri.

Dengan kaki yang tak berhenti melangkah, otak Nadia terus bekerja memikirkan semua tempat yang sekiranya cocok untuk menyendiri.

Sayangnya ia tak menemukan satu tempatpun. Ia jarang menikmati waktunya seorang diri atau yang biasa teman-temannya sebut sebagai me time.

Beralih ke sepasang manik matanya yang masih memindai setiap tempat yang dilewatinya.

Selangkah dua langkah, yang ditemukannya hanya sebuah bangunan yang bertuliskan toko atau cafe atau restoran didepannya.

Sulit sekali menemukan satu tempat. Minimal seperti taman lah.

"Eh?" Mata Nadia akhirnya berbinar saat melihat taman bermain anak-anak yang sangat sepi. Dari jauh, tamannya nampak asri karena tertutup pohon-pohon besar yang menghalangi sinar matahari.

"Bersih banget," puji Nadia saat ia tak menemukan sampah yang berserakan di taman sepi itu.

Nadia lalu memilih duduk di salah satu ayunan tunggal. Dikalungkannya dompet yang sengaja ia custom dengan pengait hingga lebih terlihat seperti tas kecil.

Pikirannya berisi banyak hal. Hingga saking banyaknya membuat Nadia bingung harus memikirkan yang mana dulu dan membuat gadis itu justru bengong tanpa memikirkan apapun.

Selama beberapa menit dilalui hanya dengan diam dan sesekali mengayunkan tubuhnya dengan ayunan.

Entah kenapa Nadia semakin merasa bersalah terhadap kakak-kakaknya yang pasti sangat direpotkan sejak kelahirannya.

"Udah bikin Bunda pergi, punya asma, bolak-balik rumah sakit lagi. Beban banget lu, Nadia," hardiknya pada diri sendiri.

Nadia menatap sepatu berwarna hitam putih yang dikenakannya. Hadiah dari Hendrik saat ulang tahunnya tahun lalu.

"Mas Keenan sama Mas Nanang pasti repot banget. Ngurusin gue, Mas Leo, Mas kembar, Mas Dean, apalagi gue sakit-sakitan. Ditambah gak ada Ayah Bunda, kalau gue udah nangis kali ya."

Hening.

Kepala Nadia masih berkecamuk dengan semua overthink yang seakan akan meledak di dalam otaknya.

Hingga ia menyadari bahwa ponselnya berbunyi. Nada dering dengan alunan lagu Love Story dari Taylor Swift menyapa telinganya. Tanpa melihat nama pemanggilnya pun Nadia sudah tahu karena ia mengatur khusus pada nada dering tersebut.

"Halo, Satya?"

"Nadia masih di Malang?"

Nadia menggelengkan kepalanya pelan, padahal Satya tidak akan dapat melihatnya. "Baru aja balik, tapi sekarang lagi gak di rumah."

"Lah, terus di mana?"

Nadia memerhatikan sekitarnya. Menemukan sebuah papan restoran yang mungkin bisa dijadikan penanda karena ia tak tahu sedang di mana.

"Sama siapa?" tanya Satya di seberang sana.

"Sendiri."

"Gue susul ya?"

"Oke."

☆☆☆

Nadia The Explorer [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang