Pak Lik Rangga dan Bu Lik Ayu berjalan cepat melewati lorong rumah sakit yang cukup ramai hari itu. Tak lupa keduanya membawa empat keponakannya.
Bu Lik Rangga menggendong Juan, Keenan menggendong Yuan. Disampingnya ada Nanang yang terus menerus menangis.
"Kadir, bagaimana?"
Keenan menimang Yuan sambil memperhatikan wajah Pak De Kadir yang sembab. Diusapnya air matanya yang hampir kembali menetes melihat empat keponakannya.
"Sini, biar Pak De aja," ujarnya sembari meminta Yuan agar berada dalam gendongannya.
"Keenan, dengerin Pak De, ya? Leo sama Dean selamat, tapi Dean lukanya cukup parah."
Pak Lik Rangga dan Bu Lik Ayu membiarkan Kadir menjelaskan sejelas-jelasnya tentang keadaan saudaranya.
"Tapi maaf, Ayah kamu gak bisa diselamatkan."
Keenan menghela napas pelan.
Boleh Keenan bilang kalau ia sudah menduga ini semua? Ibundanya dulu pernah mengatakan bahwa feeling Keenan tidak main-main.
Dan Keenan paham.
Pamit dari Ayah dan Bundanya pagi tadi terasa amat berbeda dari biasanya. Juga tingkah laku keduanya beberapa hari terakhir.
"Bunda ....?"
Pak De Kadir menggelengkan kepalanya. "Bunda kamu seharusnya bisa ditolong, Keenan."
"Kenapa seharusnya?"
"Seharusnya, kalau saja Bunda kamu gak memilih buat melahirkan adikmu yang terakhir."
"Maksudnya?"
Meskipun pertanyaannya terasa kalut, tetapi Keenan tetap berusaha tenang dan tidak panik.
Menyelesaikan suatu masalah tidaklah baik kalau tidak dengan kepala dingin, karena emosi bisa mendominasi kepala manusia kapan saja, kata sang Ayah kapan hari.
Keenan benar-benar menerapkannya, ia tidak pernah mengabaikan semua perintah dan nasihat dari kedua orang tuanya.
Kadir kini membalikkan Keenan, menunjukkan anak laki-laki yang baru beranjak remaja itu pada satu ruang yang terpisahkan oleh kaca.
"Itu adik kamu yang baru sekaligus yang terakhir. Dan dia, satu-satunya perempuan diantara kalian."
Mata Keenan tak berhenti mengerjap, entah kenapa mendengar kata perempuan membuat hatinya tak karuan.
"Bunda ... sekarang masih ada?"
Kadir mengangguk, lalu mengajak Keenan ke satu ruang di mana perempuan dengan panggilan bunda itu terbaring tak berdaya.
"Keenan."
"Kenapa Bunda milih itu?" tanya Keenan tanpa basa-basi.
Sang Bunda hanya tersenyum, mengelus surai anak pertamanya dengan tangan yang tak bertenaga.
"Inget kata Bunda tadi pagi?"
Keenan mengangguk. "Keenan harus jaga rumah sama adik-adik Keenan."
Elusan lembut dari jari Bunda ditambah anggukan pelannya hampir membuat tangis Keenan pecah.
"Tapi Keenan gak bisa jaga semuanya kalau gak ada Bunda."
"Bisa, Keenan. Kamu itu pahlawan Bunda, kamu pasti bisa jagain semua itu. Ditambah ada Pak Lik dan Pak De, Bunda yakin Keenan pasti bisa."
Keenan tak mampu mengatakan apapun, hanya gelengan kepala tak henti untuk menanggapi sang Bunda.
"Boleh Bunda kasih pesan lagi?"
Keenan mengangguk.
"Pesan Bunda cukup banyak, buat Keenan dan yang sudah ada di dunia, kalian jangan pernah nyalahin keberadaan adik kamu karena kepergian Ayah sama sekali bukan keinginan dia.
"Buat adik kamu yang baru datang juga, kasih tau dia suatu saat nanti kalau dia gak seharusnya menyalahkan diri sendiri karena kepergian Ayah.
"Bunda milih ini karena ini pilihan Bunda. Meskipun Bunda tau, Bunda gak akan bisa membantu kalian buat membesarkan dia, tapi Bunda juga tau kalau pilihan Bunda ini gak salah.
"Jadi, jangan ada di antara kalian saling menuding, saling menyalahkan dan lain-lain. Kalian semua itu saudara, satu rumah dan dari satu rahim yang sama. Hidup yang baik biar Ayah dan Bunda senang lihatnya, oke?"
Kedua jari kelingking yang melayang di udara itu terpaut sebagai tanda bahwa janji sudah dibuat diantara keduanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nadia The Explorer [✓]
أدب الهواةHidup sebagai Nadia yang dilahirkan sebagai si bungsu dengan sembilan kakak laki-lakinya apakah cukup menyenangkan?