Memory - 17

1.1K 240 2
                                    

Esok paginya, ketika Chadi terbangun di tempat tidur, Rumi tidak ada di sebelahnya.

Setelah beranjak dari kasur dan memakai baju, Chadi keluar dari kamar. Ia mengelilingi lantai dua untuk mencari Rumi sekaligus melihat-lihat isi dalam rumah.

Tadi malam Rumi bercerita mengenai Chadi Kharisma. Bagaimana Chadi menyelipkan kunci pada tas Rumi, mengisikan gantungan kunci bertuliskan alamat, dan menyuruh Rumi datang ke rumah ini.

Chadi membuka pintu kamar yang ada di lantai dua ini satu per satu, menyisir setiap kamar yang ada. Tanpa sengaja ia menemukan kamar kosong bercat biru langit dengan motif gambar awan putih yang terkesan kanak-kanak. Kamar itu memiliki kusen jendela terbaik di rumah ini. Dengan sirkulasi udara dan matahari yang bisa masuk dengan baik ke dalamnya, Chadi rasa kamar ini sangat spesial bagi Rumi dan Chadi dulu.

"Rumi?" Chadi memanggil lagi. Ia menutup pintu kamar, melanjutkan ke kamar lain. Pada kamar selanjutnya, ia mendapati ruangan berlapis debu yang penuh dengan pigura dan lukisan tak tertata.

Sembari melangkah masuk, Chadi mengibaskan tangan untuk menangkal debu. Lalu dengan hati-hati, ia mengambil salah satu pigura pada deretan lukisan yang menumpu di dinding. Ditiupnya debu yang menutupi foto. Dan diusapnya agar nampak lebih jelas.

Chadi langsung tersenyum menatap bingkai foto di tangannya itu. Lukisan Rumi dan Chadi pada hari pernikahan mereka. Berlatarkan altar gereja, Rumi mengenakan gaun pernikahan, dan Chadi dengan tuksedonya. Mereka berdua tertawa bahagia.

Keingintahuan membuat Chadi betah berada di ruangan tebal debu tersebut. Berulangkali ia mengangkat pigura, mengusap dari kotoran, dan tersenyum-senyum melihat lukisan dan foto yang ada.

Chadi tahu tak seharusnya ia merasa iri dengki saat melihat semua foto ini. Momen-momen yang Chadi Kharisma lewati bersama Rumi semuanya tertangkap dan tercetak dalam pigura-pigura di kamar ini.

Salah satu yang Chadi sadari saat melihat foto-foto ini adalah bahwa Saras dan mamanya telah membohonginya. Entah apakah KTP yang mereka berikan pada Chadi adalah KTP lama atau palsu. Yang jelas, rambut pada foto KTP Chadi jauh berbeda dengan gaya rambutnya dalam foto-foto ini.

Saat asyik mengelap bingkai, tak sengaja Chadi menjatuhkan tumpukan buku dan album foto di siku ruangan. Di antara album foto yang berserakan itu, Chadi memungut buku agenda bersampul hijau marun.

Chadi membuka halaman pertama buku itu. Ia terkekeh begitu membaca kalimat pertama yang sangat klise. "Dear, Diary," Chadi membacakan untuk dirinya sendiri. Namun ketika hendak membacakan kalimat selanjutnya, Chadi mengurungkan niat. Ia berhenti tersenyum dan terdiam.

Ini adalah agenda pribadi milik Rumi. Diari lama wanita itu.

"Chadi?" Suara Rumi berteriak bergema dari lantai satu. "Kamu di mana?" serunya. "Mbok Tutik hari ini libur. Kita masak sarapan di bawah, yuk."

Dengan kalem Chadi menutup buku di tangannya. Untuk sementara ia menyembunyikan diari Rumi di laci meja yang ada di kamar itu, dan berencana akan mengambilnya nanti saat akan pulang. Ia sangat penasaran dengan apa yang Rumi tulis hingga takut wanita itu melarang membacanya.

Setelah menutup pintu kamar, Chadi segera menuruni tangga. Ia melihat Rumi sedang memasak di depan kompor.

"Setelah aku lihat-lihat..." Chadi menghampiri Rumi sembari menatap ke sekeliling isi rumah, lalu duduk condong ke meja pantry, "Rumah ini kebesaran untuk dua orang," sambungnya.

Rumi mendorong cangkir kopi ke meja Chadi. Lalu tersenyum tipis dan bergumam cepat, "Rumah ini emang kamu rancang buat lebih dari dua orang."

"Sori, kamu bilang apa, Mi?" Chadi berhenti menyesap kopi. Ia tahu Rumi baru saja mengatakan bahwa rumah ini memang bukan untuk dua orang. Tapi ia tak mengerti artinya.

Rumi mengalihkan pembicaraan, "Chad, kamu mau lihat foto-foto lama kita nggak?"

Chadi terbatuk. Ia meletakkan cangkir dan menyeka bibir dengan tisu, "Boleh?" tanyanya, berpura-pura tak tahu ruangan penuh foto yang baru ia masuki tadi.

Rumi mengangguk. Dengan semangat perempuan itu berjalan pergi, menaiki tangga ke lantai dua.

Chadi tersenyum. Betapa antusiasnya Rumi menunjukkan memori-memori yang ia miliki dengan Chadi Kharisma.

Tepat saat itulah, jauh di luar rumah sana, Chadi melihat pak Fahrid sedang berbicara dengan seseorang.

Kening Chadi mengernyit. Dengan sigap ia berdiri, melongokkan kepala untuk mencari tahu dengan siapa pak Fahrid berbicara. Ketika Chadi melihat Salim dan mobilnya di halaman, Chadi diam-diam terlonjak. Ia kaget mengetahui iparnya itu berada di rumah ini tanpa sepengetahuannya.

Chadi hendak berteriak memanggil Salim. Namun Salim langsung berbalik masuk ke mobilnya setelah mengatakan sesuatu pada pak Fahrid. Laki-laki itu melajukan mobilnya keluar dari rumah dan tak nampak lagi.

Mengapa Salim tidak masuk ke dalam rumah? Dan bagaimana Salim mengetahui kalau Chadi berada di rumah ini? Dari mana Salim mendapatkan info tentang keberadaannya?

Kecurigaan demi kecurigaan lewat di pikirian Chadi. Ia tidak bisa memikirkan alasan lain selain bahwa iparnya itu mengintai dirinya. Tapi untuk apa?

Apa jangan-jangan Salim adalah salah satu keluarga Kharisma yang berusaha membuatnya celaka seperti kata Rei, sepupunya, beberapa waktu lalu?

Baru saja Chadi memikirkannya, nama Rei langsung terpampang di layar HP-nya.

"Halo?" Chadi mengangkat panggilan itu.

"Chadi?" Rei menyapa, "Lo di mana sekarang?" tanya Rei panik.

Gurat di dahi Chadi bertambah, "Gue di rumah gue yang dulu," jawabnya, "Emang kenapa, Rei?" Chadi tidak tahu alasan di balik suara cemas Rei.

"Kita dalam bahaya, Chad," kata Rei, "Semua keluarga kita curiga kalau ingatan lo udah balik."

Chadi tidak paham. "Ingatan gue belum balik," peringatnya, "Emanganya kenapa kalau ingatan gue udah balik?" tanya Chadi.

Rei menjawab cepat, "Kalau ingatan lo balik, itu berarti bisa jadi lo ingat siapa pelaku yang berusaha nyelakaiin lo kemarin dan ngebuat lo lupa ingatan," Latar suara Rei di seberang sangat berisik dan penuh suara orang berbisik, "Pelakunya mungkin bakal coba ngebunuh lo lagi karena takut kedoknya kebongkar," sambung Rei.

Chadi mengerjap bingung. Ia tak menyangka keluarga Kharisma akan berbuat sejauh itu untuk mencoba mencelakainya.

"Rei," Chadi ingin bertanya sebelum sambungan dimatikan, "Apa perceraian gue sama Rumi ada hubungannya sama orang yang berniat celakaiin gue itu?" tanya Chadi.

Ia sudah berpikir panjang tentang semua kekacauan ini.

Rumi berkata mereka bercerai karena tidak kuat dengan keluarga Kharisma. Rei juga mengatakan bahwa ada yang berusaha mencelakainya. Semuanya semakin jelas sekarang. Bahwa semua kebahagiaan Chadi Kharisma telah dihancurkan oleh keluarganya sendiri. Persis seperti yang pernah Oma katakan.

Menjawab pertanyaan Chadi, Rei merespon, "Ya, orang yang berusaha nyelakaiin lo itu orang yang sama dengan yang ngancurin pernikahan kalian berdua."

Chadi tercenung. Ia mengepalkan tangan dan mengeraskan rahang. Saat ini ia dipenuhi perasaan dendam dan amarah.

"Apa Rumi juga dalam bahaya?" tanya Chadi gugup. "Apa mereka juga ngincar Rumi?"

Rei terkekeh sinis, "Justru dia yang paling berbahaya," bebernya, "Keluarga Kharisma kebanyakan nggak suka sama dia."

Chadi menggertakkan gigi. Tanpa sadar ia menahan napas sejak tadi.

Apapun yang terjadi, Chadi harus melindungi Rumi. Karena Chadi Kharisma adalah pria tolol yang berhutang banyak pada Rumi. Ia harus membayar semua kebodohan dan hutangnya itu dengan segala cara. Nyawa bila perlu.

"Chad, gue buru-buru," suara di belakang Rei sangat berisik, "Gue matiin dulu ya." Tanpa aba-aba laki-laki itu sudah memutuskan sambungan.

Chadi meletakkan HP-nya. Hasil percakapannya dengan Rei meningkatkan kewaspadaan Chadi lebih dari sebelumnya. Dan ini bukannya tanpa alasan.

Ia harus menemukan siapa dalang di balik ini semua. Yang merusak kehidupan Chadi Kharisma. Yang membuat Rumi memutuskan hubungan dengannya. Dan yang mengincar nyawanya dan Rumi. Apakah hanya beberapa orang, ataukah seluruh keluarga Kharisma berkomplot mencelakainya? 

Starting OverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang