Memory - 19

1.1K 227 1
                                    

Agustus, 2016

"Yuk, turun," Chadi membukakan pintu mobil Rumi. Ia mempersilahkan wanita itu turun dari mobil.

Rumi tak menanggapi. Wanita itu masih duduk di dalam mobil. Ia menghirup dan menarik napas dengan keras. Kentara sekali Rumi sedang gugup. "Tunggu bentar, Chad," katanya, "Aku harus nyiapin diri dulu."

Melihat itu Chadi tertawa kecil, "Rumi sayang, ini cuma makan malam keluarga. Oma Opa aku udah biasa ngadaiin jamuan kayak gini," jelasnya, "Selain kamu, sepupu aku juga banyak bawa pacar dan keluarga mereka, kok."

Rumi mengangguk, "Ya, ini cuma makan malam biasa kayak makan keluarga masyarakat lainnya," ujarnya keras, lebih untuk meyakinkan diri sendiri. Ia kemudian menoleh pada Chadi yang menyender pada pintu mobil, "Ya kan, Chad?"

Chadi mengangguk kecil, "Bisa dibilang gitu," Walau ia ingin menambahkan bahwa ini akan lebih formal apabila dibandingkan dengan makan malam keluarga lain pada umumnya. Tapi ia tak ingin Rumi semakin gelisah. Jadi ia tak menyampaikannya.

Rumi akhirnya keluar. Chadi membantu menutupkan pintu mobil.

"Mereka bakal suka sama aku nggak ya, Chad?" tanya Rumi. Wajahnya kalut.

Chadi menekan remote mengunci mobil. "Mereka baik-baik, kok, Mi." Ia kemudian tertawa, "Seenggaknya mereka nggak akan 'makan' kamu hidup-hidup."

Rumi memutar bola matanya. Lelucon Chadi tidak bisa membuatnya tertawa sekarang.

Mereka sudah berjalan melintasi halaman yang dipenuhi mobil. Namun saat selangkah lagi menuju teras rumah, Rumi berhenti dan berdiri diam.

Otomatis Chadi juga ikut menyetop langkahnya. Ia menghela napas, memegang lengan Rumi pelan, "Kamu takut sama siapa, sih, Mi?" tanyanya serius.

"Aku bukan takut, Chadi," sanggah Rumi. "Aku harus pasang strategi untuk ngadepin mama kamu," katanya serius. Awalnya Chadi tak ingin serius menanggapi kegelisahan Rumi. Tapi tak ada pilihan selain menenangkan wanitanya ini.

"Mi," tangan Chadi turun menggengam tangan Rumi. "Kamu ingat nggak pas pertamakali kamu datangin aku?"

Rumi mengernyit, "Yang pas di kantin kampus itu?"

Chadi mengangguk. "Kenapa kamu nggak pernah nanyaiin ke aku kenapa aku ngitung uang waktu itu?"

Rumi menggigit bibir, "Sarah ngasihtahu aku," Ia sedikit tergelak, "Katanya kamu kabur dari rumah." Lalu ditatapnya Chadi prihatin. "Kamu nggak kuat sama mama kamu karena..."

Chadi menunggu Rumi melanjutkan. Perempuan itu sesaat menunduk.

"Karena mama kamu protektif. Suka ngatur-ngatur kamu," Rumi tahu sedikit kisah ini dari Saras. "Kamu nggak papa aku bilangin kayak gini?" Ia takut menyinggung Chadi.

Chadi tersenyum pahit. Ia mengangguk dan melepas napas dalam, "Waktu aku lagi hitung uang di dompet hari itu," Chadi bercerita, "Itu udah dua minggu sejak aku pergi dari rumah."

Rumi melihat ada sekelumit kesedihan pada wajah Chadi.

"Waktu itu aku mikir lebih baik aku lontang-lantung aja di jalan dan makan sehari sekali daripada harus tinggal sama mama aku," Sorot mata Chadi sendu. "Sampai akhirnya sekarang, aku bisa lebih paham kenapa dia nggak ijinin aku rantau keluar, ngekang, ngatur, bawel, ke aku," Chadi tidak tersenyum.

Rumi membayangkan betapa berat beban yang Chadi pikul.

Kehilangan ayah di umur dini. Menjadi anak tunggal tanpa saudara kandung. Terjebak dengan ibu yang tak tahu harus mencurahkan cintanya pada siapa kecuali putra semata wayangnya.

Starting OverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang