Memory - 26

1K 224 4
                                    

Rumi duduk di sofa di seberang Chadi. Wanita itu tersenyum sendu mengakhiri cerita.

"Mi, kamu bercanda?" Chadi mengerutkan kening. "Kita cerai cuma gara-gara itu?" tanyanya remeh.

Rumi menggeleng, "Aku berharap memang cuma gara-gara itu aja. Tapi terus selama berbulan-bulan, kita selalu berantem dan nangis karena hal yang sama."

"Ya karena keluarga aku aja kan?" Chadi menunjuk ke arah kosong.

"Karena kita nggak bisa saling percaya, Chad," Rumi membenarkan. "Kamu emang pindah dari apartemen balik ke rumah. Tapi selama sebulan itu, mama sama keluarga kamu nggak pernah berhenti cerca aku," gumamnya. "Mereka sering nyindir aku depan umum. Terus lama-lama, kamu juga kesel dan bosan sama aku yang selalu bilang kamu nggak pernah ngelindungin aku. Kita bahkan juga udah nggak malu buat bertengkar di depan umum. Bahkan kita debat di restoran Jepang langganan kita."

Chadi termenung. Dari cerita Rumi, ia bisa tahu betapa jelek posisi Chadi Kharisma yang berada di tengah-tengah istri dan keluarganya sendiri.

"Aku yakin untuk bercerai karena ibu-ayah aku sendiri juga nyaranin begitu," Rumi menunduk, "Kata ibu-ayah angkat aku, keluarga suami aku udah nggak ngehargai aku. Dan suami aku juga udah cape sama aku. Jadi aku gugat cerai."

Chadi kini mengerti. Kala itu Rumi dan Chadi Kharisma sedang mengalami krisis kepercayaan pada hubungan mereka. Rumi nyaris percaya ia memang ibu dan istri buruk. Tapi di waktu yang sama ia tidak memerpercayai Chadi yang mati-matian membela Rumi di depan keluarganya.

Sedangkan Chadi Kharisma.... Pria penakut itu akhirnya menyerah juga.

Butuh tandatangan kedua belah pihak untuk menyerahkan surat perceraian. Pasti Chadi Kharisma sadar betul saat ia membubuhi tandatangannya di atas dokumen itu. Dan lagi, proses cerai pada lembaga hukum tidaklah singkat. Dalam jangka waktu yang tak cepat itu, Chadi pasti sudah menetapkan pilihannya. Untuk bercerai.

Dan di sanalah akhir perjuangan Chadi Kharisma. Yang katanya tidak akan melepaskan Rumi. Yang omong kosongnya tentang "tak akan menyerah pada pernikahan mereka" membuatnya kini ingin membacok tubuh tempatnya terjebak ini.

Chadi tahu keluarga Kharisma memang sangat keji. Ia tahu juga bahwa Chadi Kharisma memang pengecut. Tapi ia tak menduga pria ini begitu lamban, lemah, dan tidak berdaya.

"Chad," Rumi memanggil, "Besok kamu mau ikut aku ke makamnya Noey?"

Chadi tercenung. Tadinya ia tidak bisa merasakan emosi apapun. Tapi kini ia sedikit terenyuh. Seperti ada sentilan kecil yang membangunkannya.

Chadi mengangguk pelan. Ia mengontak mata Rumi, mendeteksi kesedihan wanita itu.

Rumi ikut mengangguk, menyepakati. Perempuan itu tersenyum pedih.

Chadi berusaha membalas senyum itu. Tapi ia tak bisa. Wajahnya masih terasa datar.

Ia bertanya-tanya, apakah setelah ini Rumi mau bersamanya lagi?

* * *

Rumi sudah pergi keesokan paginya saat Chadi terbangun. Matahari sudah tinggi. Kamarnya agak gelap karena gorden menutupi jendela. Hanya segaris cahaya yang bisa masuk lewat sela tirai. Namun meski Chadi sudah tidur lama, ia merasa seperti tak tidur sama sekali. Mungkin bukan fisiknya yang paling butuh istirahat.

Kini sudah lewat berjam-jam dari jam mulai kantor. Chadi tidak merasa ingin pergi bekerja.

Tiba-tiba HP-nya di atas nakas sebelah kasur berbunyi. Chadi menggapai HP dan melihat nama Salim di layar. Dengan malas ia menjawab panggilan tersebut.

"Chad?" Salim menyapa. "Baru bangun tidur lo?" tanyanya. Suara di belakang Salim ribut dengan pertengkaran Rara dan Andre.

"Gue nggak ke RS hari ini," Chadi tak menanggapi pertanyaan Salim. Ia beranjak dari kasur, lalu berjalan ke dapur dan menuang air. "Kenapa, Lim?"

Starting OverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang