Memory - 29

1.1K 209 4
                                    

Maret, 2019

Ada banyak hal yang Rumi sukai dari hubungan backstreet. Alias hubungan rahasia.

Pertama, berkurangnya beban sosial. Rumi bebas mendeklarasikan bahwa Chadi miliknya pada orang tak dikenal. Begitu pula sebaliknya.

Kedua, karena hubungan backstreet ia dan Chadi tak dicampuri banyak pihak, Rumi lebih bisa mengontrol ekspetasi dalam hidupnya yang seringkali tak berkawan baik dengan realita.

Ia belajar semakin tinggi ekspetasi akan semakin sakit hatinya bila tak kesampaian. Jadi ia dan Chadi sepakat, bahwa mereka akan menikmati masa ini secara perlahan dengan mengikuti arus, sambil sekaligus berencana secara fleksibel dalam jangka panjang.

Dan keuntungan ketiga, hal terbaik dari menjalani hubungan rahasia adalah, mereka akan memiliki lebih banyak waktu berdua saja. Tidak ada acara bakti sosial keluarga Kharisma. Tak ada undangan ulangtahun keponakan. Tidak ada omelan dari mama Chadi.

Hanya berdua. Acara lain bisa menunggu.

Sejauh ini, setiap akhir pekan Chadi dan Rumi sudah pergi ke luar kota beberapa kali. Khususnya saat Chadi sedang tidak sibuk. Hari Sabtu subuh mereka berangkat ke Lombok, lalu balik ke Jakarta Minggu malamnya. Beberapa minggu kemudian mereka berangkat subuh ke Bali, lalu balik ke Jakarta Minggu malam. Seperti itu berturut-turut.

"Bukannya kamu takut tabungan aku habis?" Chadi pernah bertanya begitu pada Rumi.

Rumi membuang muka. Pacarnya itu terdengar keren saat menanggapi, "Sekarang aku lebih takut waktu kita yang habis."

Chadi tertawa. Ia suka dengan perubahan pola pikir Rumi. Nampaknya kepergian Noey telah memberikan pukulan yang sangat besar pada kehidupan mereka berdua.

"Chad," Rumi bertanya saat mereka berjalan di pinggir pantai sehabis bangun tidur, "Jujur, deh, kamu masih ngerokok ya sampai sekarang?"

Sesaat Chadi terpegun, "Sekarang udah enggak, kok."

"Beneran?" tanya Rumi menyipitkan mata. Angin membuat rambutnya yang sedari awal berantakan akibat baru bangun jadi lebih kusut lagi. "Aku udah minta kamu berhenti, loh."

"Serius, udah," Chadi membentuk tanda sumpah dengan jarinya.

Sebetulnya siapapun boleh saja merokok. Tidak ada masalah dengan itu. Hanya saja Rumi menganjurkan Chadi untuk berhenti. Karena rokok bukan obat sedih dan penyesalan. Bila itu yang Chadi cari dari setiap puntungnya.

Chadi sejujurnya baru berhenti merokok beberapa hari setelah Rumi mau menerimanya lagi. Tapi sebelum itu ia bisa nyaris menghabiskan satu kotak full dalam dua hari. Sungguh berat untuk bisa lepas dari nikotin. Rasa membakar, kenyamanan saat menyelip di bibir, dan sesapannya bisa membuat candu. Namun efeknya keras. Chadi sadar, bahwa tiap ia menyulut sebatang rokok ke batang lainnya, ia sedang memperpendek umurnya.

"Aku benar-benar udah berhenti, kok, Mi," ulang Chadi.

Rumi tidak percaya. "Mana sini..." Ia mendekati mulut Chadi. Dan karena ajimumpung pantai sedang sepi, ia berani untuk mengendusnya. "Oke, bagus, nggak ada karang gigi atau bau pahit," sahut Rumi setelah memeriksa.

Chadi terkekeh. Bunyi deburan ombak di belakangnya. "Lagian kamu udah berapa kali, sih, ciuman sama aku?" tanya Chadi sewot, "Masa udah berkali-kali ciuman dan tidur sebelahan kamu nggak bisa tahu, sih."

Rumi menarik kepalanya. Ia berkelit, "Ya siapa tahu kamu pakai spray mulut dulu sebelum kita ciuman," responnya kesal. "Biar bau rokoknya hilang."

Chadi terbahak-bahak, "Kamu kan sering datang ke apartemen aku," Ia masih belum puas menjahili Rumi, "Emang kamu lihat aku punya spray mulut?"

Starting OverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang