Memory - 01

3.9K 485 4
                                    

Untuk pertama kalinya setelah puluhan malam terbaring diam di kamar dingin itu, ujung jari Chadi akhirnya bergerak.

"Sst! Jangan ribut. Om Chadi nanti nggak bangun kalau kalian bertengkar...." Seorang wanita di sebelah kasur Chadi menegur.

"Kakak duluan yang mulai, Ma!" Bantah putrinya.

"Enak aja!" Bocah tiga tahun lebih tua di sofa menolak disalahi, "Lagian kita kan sering bertengkar di sini, Om Chadi nggak bangun-bangun, tuh. Mungkin bakal bangun kalau dibanguninnya sama Tante Rumi."

Suara gemerisik plastik dan riuh percakapan menimbulkan rasa tidak nyaman di telinga Chadi yang baru terjaga setelah lama tak sadarkan diri. Sejenak, saat Chadi mencoba bergerak, rasa nyeri yang luar biasa menyerang tulang-tulang tubuhnya. Napasnya terasa pendek dan tidak teratur.

Sakit. Kepala Chadi pusing. Semua tubuhnya terasa ngilu. Tenggorokannya kering. Matanya sulit untuk terbuka. Dan ia merasa ruangan ini sangat dingin.

Dengan semua tenaga yang tersisa, Chadi mengerang kecil dari tempat tidurnya.

Mendengar erangan Chadi, seorang pria yang berdiri tak jauh darinya memanggil, "Chadi?" Pria itu berjalan mendekat. "Ras, kamu tadi dengar nggak?"

"Dengar apa?" tanya seorang wanita.

"Tadi aku dengar rintihan."

Ketika Chadi sekali lagi mengerang, pria dan wanita itu sama-sama terperangah.

"Itu... itu suara Chadi bukan?" Mereka memeriksa Chadi yang terbaring lemah di tempat tidur. Melihat mata Chadi perlahan terbuka, mereka terkejut dan terlonjak dari kursi.

"Lim, Chadi udah sadar, Lim!" Wanita itu bersorak seolah melihat mayat bangkit dari liang kubur. "Chad? Chadi? Lo udah sadar kan?"

"Om Chadi akhirnya bangunn!" suara manja gadis kecil menyebut nama Chadi riang.

Namun Chadi tidak merespon. Ia sendiri masih berusaha keras beradaptasi dengan silau cahaya bohlam lampu pada langit-langit kamar. Setelah menyesuaikan diri dengan penerangan, matanya pun mengelilingi sekitar, pada ruangan berplafon tinggi, terang, dan interior khas kamar rawat inap.

Chadi tahu ia sedang berada di rumah sakit.

Pertanyaannya, sedang apa ia berbaring di sini?

"E...ng..." Chadi berusaha mengatakan sesuatu. Bibirnya berulang kali membuka dan mengatup, tapi kerongkongannya amat kering, seakan sudah ribuan hari tak mencicipi air.

Melihat Chadi kesulitan berbicara, wanita di sebelah Chadi pun menyuruh, "Lim, coba panggilin dokter Hera."

"Oke, tunggu di sini, aku cariin Herawati dulu," Pria itu pun terbirit-birit keluar dari kamar. Keduanya lupa mereka hanya tinggal menekan tombol di samping tempat tidur pasien untuk memanggil perawat. Tidak lama kemudian dua dokter dan tiga orang perawat datang memeriksa Chadi di perbaringannya.

Setelah menanggalkan alat bantu napas pada hidungnya, perawat dan dokter memastikan mata, denyut nadi, dan tekanan darah Chadi sembari menanyakan beberapa hal meskipun Chadi hanya bisa menjawab dengan anggukkan atau gelengan. Berdasarkan hasil pemeriksaan cepat, kondisi Chadi dinyatakan normal. Tidak menunjukkan gangguan apapun.

"Syukurlah..." Pria dan wanita yang menemani Chadi sedari tadi memanjatkan syukur. "Kalau gitu apa artinya Chadi bisa keluar dari rumah sakit dalam beberapa minggu, Her?" tanya wanita itu pada dokter bernama Herawati yang sudah mengurus Chadi selama ia tak sadarkan diri.

"Untuk sementara dokter Chadi bakal butuh pemeriksaan lebih lanjut, Ras," dokter Hera tidak dapat memberikan janji. "Setelah hasil pemeriksaan keluar, baru kita bisa lihat apakah dokter Chadi boleh keluar rumah sakit. Kalau hasilnya baik-baik aja pun minimal dua minggu lagi baru bisa keluar."

Saras nampak senang. Ia sepertinya terharu dan sangat bersyukur melihat Chadi siuman. Wanita itu mengajak dokter Hera berdiskusi panjang mengenai proses dan tindak lanjut yang harus Chadi lalui untuk bisa segera keluar dari rumah sakit.

Sementara mereka asyik berbincang, Chadi masih merasa gejolak aneh di kepalanya. Entah karena dikerumuni banyak orang ataukah karena lampu menyilaukan, kepalanya terasa pusing seperti ditonjok-tonjok dan telinganya berdenging keras. Namun hanya sekejap, sebelum kemudian pusing itu hilang dengan sendirinya.

"Mama, mama!" gadis kecil yang sejak tadi menempel di sebelah Chadi memanggil Saras. "Tadi Om Chadi nanya bisik-bisik ke Rara," ia menunjuk Chadi dengan telunjuk kecilnya.

Perhatian semua orang spontan teralihkan pada Rara. Tinggi badan anak itu memungkinkan untuk mendekat pada telinga Chadi yang masih terkulai lemah di tempat tidur.

"Om Chadi tadi nanya apa, sayang?" tanya Saras.

Tanpa ragu dan dengan lantang gadis itu berkata, "Om Chadi tadi nanya 'siapa kalian?'"

Sejenak semua orang dewasa di ruang rawat inap VIP itu tertegun.

"Ooh, maksudnya om Chadi nanya ini siapa ya?" Saras menunjuk para perawat di belakang mereka. "Ini perawat rumah sakit yang tadi periksa om Chadi."

Saat bibir Chadi bergerak pelan lagi, gadis itu bernjijit sedikit untuk mendengar pertanyaan Chadi. Rara kemudian menyampaikan pertanyaan Chadi itu kepada semua orang, "'Namamu siapa'? Om Chadi nanya gitu lagi ke Rara."

"Maksudnya Rara nanya nama mama?" Saras bingung mendengar pertanyaan anaknya.

"Bukan," anak bernama Rara menggeleng, "Om Chadi kayaknya nanya nama Rara."

Entah insting ataukah waspada, dokter Herawati kembali mendekati kasur. Ia menunjukkan satu telunjuknya pada Chadi.

"Dokter Chadi," Ia memanggil, "Apa dokter bisa kasih tahu tangan saya ini melambangkan angka berapa?" tanya dokter Hera. Ia tidak bisa mendengar bisikan Chadi.

Maka dari itu Rara membantu menterjemahkan, "Katanya Om Chadi 'satu'."

"Kalau yang ini," Dokter Hera menunjukkan kelima jarinya.

"'Lima'," Rara menyuarakan jawaban dari Chadi.

Dokter Hera mengambil kertas kosong dan menuliskan sesuatu. Kemudian menunjukkan tulisan itu pada Chadi, "Kalau ini tulisannya apa, Dok?"

Butuh waktu sedikit lebih lama sebelum akhirnya Chadi menjawab, yang dibantu terjemahkan oleh Rara, "'rumah sakit' katanya."

Berulang kali dokter Hera menguji Chadi dengan angka dan huruf serta simbol sulit. Semua dijawab dengan benar. Hingga akhirnya dokter Hera beralih menunjuk Saras yang berdiri di belakangnya, "Kalau ini siapa, Dok?"

Tidak ada jawaban dari Chadi. Ia terdiam. Ia bingung. Atau lebih tepatnya, ia tidak tahu.

Bukannya memberikan jawaban, Chadi malah bertanya balik kepada semua orang melalui Rara, "'saya Dokter Chadi?' Om Chadi nanya gitu."

Tidak Saras, tidak pria yang daritadi menonton di sebelah Saras, bahkan dokter Hera, mengerutkan kening saat mendengar Rara.

"Maksudnya Rara...?" Saras tidak paham apa yang ditanyakan putrinya.

"Rara juga nggak ngerti, Ma," gadis itu menggeleng.

Tiba-tiba anak laki-laki yang daritadi hanya duduk di sofa tertawa dingin, "Jangan percaya Rara, Mah. Mana bisa omongan anak kecil dipercaya," cemoohnya.

"Andre...!" Saras menegur putranya.

"Rara nggak ngomong asal, kok!" Rara berteriak. "Om Chadi daritadi memang nanya siapa nama Mama sama Papa ke Rara! Om Chadi kayak nggak kenal kita semua!" serunya kencang dengan mata berkaca-kaca.

Saras tercenung. Tiba-tiba ia memiliki firasat buruk. Meski tidak tahu apa yang tengah terjadi, dengan perhatian Saras memeluk putrinya yang menangis, berusaha menenangkan.

Sokter Hera bertanya sekali lagi kepada Chadi, "Dokter Chadi, apa dokter tahu ini siapa?" sembari menunjuk Saras.

Namun sayangnya, setelah lima belas menit bergonta-ganti menanyakan nama anggota keluarganya sendiri, tak satupun nama yang bisa Chadi jawab dengan benar. Maka tertanggal 15 Oktober 2019, begitu hasil pemeriksaan keluar, dan meski ada perdebatan antar dokter mengenai hasil pemeriksaan Chadi, Chadi akhirnya tercatat memiliki gangguan otak amnesia disosiatif. Dan diputuskan belum dapat meninggalkan rumah sakit dalam dua minggu. 

Starting OverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang