They Called It Anger

184 18 2
                                    

Hidupnya tiba-tiba terasa hampa. Siapa sangka tekad yang sudah bulat tetap pada akhirnya berubah? Berlubang disana-sini? Siapa sangka hati yang sudah dia kuatkan untuk beku, tetap tersepih juga?

Nyatanya, Lana sama sekali tak mampu melupakan Pierre. Nyatanya, Lana sama sekali tak mampu membunuh rasa. Kebersamaannya bersama Alexander tak mampu menutupi luka yang masih menganga.

Sial.

Bahkan Alexander mengakui bahwa rasanya usahanya sia-sia saja. Bahwa Lana terlalu dalam jatuh di lubang tujuh tahun lalu. Tawa yang Lana kelakarkan tiap bersamanya palsu, hampa, dan kosong tak bernyawa. Lana masih sering menangis sendiri. Lana masih sering mengamati foto Pierre diam-diam.

Tujuh tahun.
Tujuh tahun bukanlah waktu yang singkat untuk pasangan menjalin hubungan. Bukanlah waktu yang bisa dengan mudahnya terlupakan begitu saja ketika sang pemilik kenangan bosan dengan waktu yang berputar tanpa berjalan.

Sedangkan satu bulan... bukanlah waktu yang cukup untuk mengjapus kenangan tujuh tahun lamanya.

Ya.
Tanpa disadari Lana, sudah satu bulan berlalu sejak Pierre memutuskan untuk mengakhiri hubungan mereka. Sudah satu bulan ini Lana hidup dalam kepura-puraan.

Seringnya hati, pikiran, dan badannya berjalan tak beriringan.

Seperti saat ini, ketika tanpa sadar--lagi--kaki mungil Lana membawanya ke cafe Freno. Cafe milik sahabat Lana itu merupakan salah satu tempat di antara banyak yang sering Lana kunjungi bersama Pierre. Salah satu tempat di antara banyak yang memiliki beribu kenangan di tiap sudut ruangnya.

Nyatanya, pun Lana menolak mengakui bahwa dia masih terikat oleh satu nama itu, hatinya tak mampu. Pun Lana berusaha matia-matian berbicara lain, hatinya memberontak menyerukan kata lain.

Pikirnya, membenci akan menyelesaikan masalah. Pikirnya, membenci akan membantu melupakan.

Tapi, tiap kali nama itu tak sengaja disebut, tak sengaja diangkat ke permukaan, Lana bungkam. Seolah ada yang mengunci bibirnya.

Lana terus saja melangkahkan kakinya hingga tiba di depan pintu ruang Freya. Cita--pegawai Freya yang pernah berselisih dengan Lana--kini hapal betul dengan wajah sahabat pemilik cafe tempatnya bekerja itu. Hapal betul dengan wajah murung yang sering ditampilkannya ketika berada di sana.

"Maaf Mbak Lana, Mas Reno lagi di ruaangan Mbak Freya," ucap Cita perlahan, seolah takut mengagetkan Lana.

Mendengar nama Reno disebut, Lana sadar. Bukan saatnya untuk sifat kekanak-kanakkannya muncul. Freya sudah bukan miliknya lagi. Dia tidak bisa setiap saat datang dan berkeluh kesah pada Freya seperti dulu.

Lana tersenyum singkat, kemudian berbalik dan berjalan pergi menjauhi cafe Freno itu.

***

"Who's the jackass that letting such a beautiful girl like you walking down the road all alone?" suara berat itu mengagetkan Lana dari lamunannya.

Dia mendongak, dan mendapati wajah yang tak asing berdiri di hadapannya.

Fredrick.
Keponakan Danu itu beberapa hari ini dengan gentar mengganggu hidup Lana. Dia muncul dimana-mana. Dia muncul setiap kali Lana merasa seperti ini. Dia muncul setiap kali Lana merasa perlu sendiri walaupun hatinya berteriak kesepian setengah mati.

Hal yang bahkan Alexander tidak mampu lakukan.

Tapi Lana tidak menyadarinya.

"Move, Fred," perintah Lana dengan bosan, seolah-olah dua kata itu kini telah menjadi makanan sehari-hari Lana.

Fredrick meletakkan sebelah tangan di dadanya. "Ouch, that hurts," ucapnya sambil dibuat-buat.

Lana mendengus sebal. Apa sih mau pria aneh satu ini?!

Mengabaikan Fredrick, Lana mulai kembali berjalan tanpa membalas ucapannya sama sekali. Dan bukan Fredrick namanya jika menyerah begitu saja. Dengan cepat dia menyamai langkah kaki Lana.

Tap tap tap.
Beberapa lamanya hanya suara kedua pasang sepatu mereka yang dapat mereka dengar. Seolah rasanya semua suara hilang. Dan Lana mulai sebal dengan suara itu.

"Mau kamu apa, sih?!" setengah berteriak Lana bertanya. Langkahnya terhenti begitu saja. Fredrick yang telah selangkah di depannya ikut berhenti.

Dia menoleh, "Tumben kamu nggak bareng Al?"

Dahi Lana berkerut bingung. Untuk apa Fredrick mencoba mengalihkan pembicaraan?

"Dia bukan pacarku. Aku nggak harus setiap saat bareng dia," jelas Lana tak acuh.

Fredrick mengangguk-anggukkan kepalanya. "Hm, temen kamu yang dokter itu?"

"Lucas?" tanya Lana memastikan. Fredrick hanya menjawabnya dengan sekali anggukan kepala.

Sambil melanjutkan berjalan Lana menjawab, "Dia sibuk, banyak dokter magang di rumah sakit dia"

"Mario?"

"Sibuk sama konsernya di... Kalau nggak salah sih di Wina lagi"

"Dennis?"

"Dia juga lagi sibuk, persiapan buat race di... Aku lupa dia mau race dimana"

"Kalau... Fredrick?"

Cukup sudah, pikir Lana. "Maksud kamu apa, sih? Emangnya ini semacam acara investigasi, hah?! Kalau kamu segitu kurang kerjaannya, mending ke kantor Pak Danu, kelarin tuh semua jobku yang segunung!"

Fredrick tertawa. Bukan sebuah tawa sopan, tapi benar-benar tertawa terbahak. Lana bingung. Dia sama sekali tidak menemukan sesuatu yang lucu dari ucapannya tadi.

Lama Lana menunggu, tapi tawa Fredrick tak kunjung berhenti. Dia sudah siap berjalan meninggalkan pria itu ketika akhirnya tawa itu dipaksa berhenti dengan sebuah dehaman.

"Ehm, sorry, Lana"

"Lo kenapa, sih? Heran gue. Rasanya mau ngomong sopan ke elo jadi males gue!"

Fredrick kembali tertawa, tapi kali ni tak selama yang pertama.

"Kamu lucu, ya" Dahi Lana berkerut bingung. Hah?!

"Iya, lucu. Biasanya orang sedih ya nangis. Orang sebel ya marah. Kadang ada juga yang kebalikannya. Eh ini, sedih diem aja, marah juga diem aja. Hahaha,"

Lana hendak membuka mulutnya untuk protes ketika Fredrick melanjutkan.

"Kehilangan itu sesuatu yang setiap orang pasti alami, Lan. Mau kamu jaga sekuat apa pun, kalau takdirnya seperti itu mau apa lagi? Kita cuma bisa mensyukuri segalanya.

"Tapi, bukan berarti kita harus seperti robot yang nggak punya perasaan. Aku tau kamu sedih, marah sama keadaan. Dan kalau kamu sedih, ya nangislah. Kalau kamu marah, ya marahlah. Nggak ada orang yang akan melarang kamu merasa sedih dan marah saat kamu kehilangan sesuatu yang berharga"

Lana tertegun dengan ucapan Fredrick. Selama ini dia menangis. Ya. Walau pun tidak ada yang tau. Tapi marah? Apakah dia sempat berpikir untuk marah? Tidak.

Lana berpikir semua cara sudah dia coba untuk melupakan Pierre. Semua cara. Nyatanya dia salah.

Dia belum mencoba untuk marah.

[....]

Grey SummerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang