Got Drunk

585 22 3
                                    

Suasana club itu benar-benar ramai. Dan ini baru kali kedua Lana datang ke tempat seperti ini.

Setelah melewati perdebatan yang cukup panjang dengan Freya, akhirnya Lana mengikuti saran temannya itu untuk bersenang-senang.

Lana tidak habis pikir dengan apa yang ada di pikiran Freya dengan menyuruhnya datang ke sebuah diskotik terkenal dengan Gloria-teman mereka semasa SMA-yang mungkin sudah mengenal diskotik sejak dia dilahirkan di dunia.

Hari itu Lana akhirnya mengalah, meninggalkan tumpukan pekerjaannya untuk diberikan kepada Melisa esok pagi. Sejujurnya Lana lega, karena setidaknya Lana tidak perlu sibuk lagi memikirkan pekerjaan-pekerjaan yang membuatnya semakin gila itu. Walaupun dia agak merasa kehilangan karena melepaskan semua kesibukan yang dia miliki.

Lana sedari tadi sibuk menarik-narik ujung gaun hitamnya yang terlalu pendek dan menempel ketat di tubuhnya. Sedangkan Gloria-yang notabene pergi dengannya-kini entah berada di mana.

Lana mengedarkan pandangannya. Orang-orang di bawah sedang sibuk menggerakkan tubuh mengikuti lagu yang dimainkan DJ. Di sebelahnya ada beberapa orang yang sedang minum. Dan di beberapa sudut terlihat pasangan-pasangan yang tengah mabuk sedang bercumbu.

Ini ide gila, desis Lana dalam hati.

Lana tidak pernah nyaman dengan tempat semacam ini. Dulu dia pernah sekali datang ke sebuah diskotik bersama Pierre dan akhirnya berjanji sendiri dalam hati bahwa dia tidak akan pernah kembali ke gudang setan bernama diskotik itu.

Tapi kali ini Lana butuh pelampiasan. Mungkin ini akan sedikit mengurangi beban otaknya dari makhluk bernama Pierre.

"Pesan apa, nona?" tanya seorang pria yang kini duduk tepat di samping Lana.

"Bukan urusanmu," jawab Lana dengan ketus.

Dia juga benci dengan semua pria macam ini. Menilai wanita dari tampilan luarnya. Menggunakannya sebagai pemuas diri kemudian membuangnya begitu saja. Memangnya dia pikir Lana tidak tahu? Tentu saja Lana tahu. Pierre yang memberi tahunya.

Lana mendesah. Kenapa segala hal yang dia pikirkan harus berujung dengan satu nama itu? Kenapa dia tidak mengalami kecelakaan saja hingga mengalami amnesia dan lupa segalanya? Melupakan nama itu dan juga rasa sakitnya?

"Jangan terlalu jual mahal,"

Lana menatap tajam kearah pria itu. "Get your ass away from here or i'll kick it," ancamnya.

Pria itu mencibir dan beranjak pergi. Sadar bahwa apapun yang dia lakukan tidak mungkin berhasil menarik perhatian Lana. Cewek patah hati. Pikir pria itu dalam hati.

Lana menghembuskan napas lega ketika melihat pria itu berjalan meninggalkannya.

"One hurricane please," teriak Lana pada sang bartender.

Pria itu mengangkat alisnya menatap Lana. Pria bermata biru dan berambut pirang yang telah menjadi bartender selama enam tahun di situ tidak pernah melihat Lana. Dan sekarang gadis itu memesan satu skote hurricane? Dan datang sendiri? Dia cari mati, pikir pria itu.

"Kau yakin, nona?"

Lana menjulingkan matanya. "Yaiyalah. Apa lo yang nggak bisa bikin?"

Dasar gay, batin Lana sebal.

Iya, gay. Dilihat dari sudut pandang manapun, pria itu terlihat seperti gay. Mana ada lelaki sesempurna itu? Badan atletisnya. Kulit kecoklatannya. Mata birunya yang teduh, hanya para gay yang memiliki mata seperti itu.

"Ah ya, baiklah jika itu maumu," sahut bartender itu dengan halus.

Nah kan? Kini Lana yakin seratus persen bahwa bartender itu seorang gay.

Grey SummerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang