The Anger has Gone

252 18 6
                                    

Setelah pertengkarannya dengan Al beberapa hari yang lalu, mereka tidak pernah berhubungan kembali. Tidak ada telpon di pagi hari lagi. Tidak ada sms-sms menyebalkan tapi membuat rindu lagi.

Keras kepala Lana kini berbalik menyerang dirinya.

Dia tidak pernah merasa sebersalah ini kepada seseorang. Dia selalu berusaha untuk tidak menyakiti orang lain. Tapi nyatanya, orang paling penting dalam hidupnya kini pasti membencinya karena apa yang dia katakan.

Dan semuanya hanya karena dia menuruti ucapan bodoh milik Fredrick.

***

Alexander kacau. Dia tidak bisa berpikir jernih. Dia tidak bisa bekerja. Dia tidak bisa makan. Dia tidak bisa tidur. Dia tidak bisa melakukan apapun!

Pertengkarannya dengan Lana beberapa hari lalu ternyata memiliki efek sebesar ini pada dirinya.

Dia baru tahu, karena ini adalah kali pertama mereka bertengkar hingga tidak ada satupun yang mau mengalah. Biasanya dialah yang mundur dan mengaku salah. Tapi kali ini, egonya mengatakan untuk bertahan. Beberapa hari lagi, dan jika semuanya semakin memburuk, berlarilah ke hadapannya dan mohon maaf agar segalanya baik-baik saja. Ya, ucapnya pada dirinya sendiri. Beberapa hari lagi.

Beberapa hari lagi.

Beberapa hari lagi.

Akh! Bagaimana dia bisa bertahan beberapa hari lagi jika satu hari saja rasanya sudah seperti berhari-hari? Sial. Mulai saat ini Alexander harus belajar untuk menahan dirinya diwaktu-waktu kritis seperti kemarin lalu.

Kriing.
Suara deringan telepon dari sampingnya membuatnya terlonjak sebentar sebelum kemudian tenang dan mengangkat telepon itu.

"Ya," ucapnya pada orang di seberang.

"Pak, ada yang ingin memaksa bertemu dengan bapak"

"Sudah buat janji?"

"Belum, Pak"

Dahi Al berkerut bingung. Dia tidak merasa kenal seorang pun yang akan memaksa bertemu tanpa membuat janji terlebih dulu dengannya. Ketiga sahabatnya pun pasti mengjubungi ponselnya jika ingin bertemu. Lalu, siapa?

Sepintas sebuah nama terlintas di pikirannya. Namun dia buang jauh-jauh pikiran itu sebelum dia besar kepala.

Orang itu keras kepala. Amat sangat keras kepala. Tidak mungkin dia datang untuk mengaku salah dan meminta maaf duluan.

Apalagi jika itu dengan dia, orang itu tidak akan pernah mau mengalah seperti yang lalu-lalu. Hingga pasti pada akhirnya Alexanderlah yang mengalah dan meminta maaf, seperti biasanya.

"Suruh datang lain kali kalau sudah buat janji," putus Al setelah berpikir beberapa saat.

"Baik, Pak" telepon ditutup.

Al menghela napas berat. Kejadian yang menimpa hidupnya akhir-akhir ini membuat dia harus banyak bersabar dengan menghrla napas berat. Hah. Masalah apa lagi yang akan datang nantinya? Sejak Lana putus dengan Pierre, masalah seperti tak mau pergi meninggalkan dia dan orang-orang di selitarnya sendiri.

"....."

Alexander terdiam. Suara berisik dari depan pintu ruangannya terdengar begitu jelas.

Siapa, sih?! Batinnya kesal. Siapapun yang berani mendobrak masuk ruangannya pasti memiliki doa untuk cepat mati.

Dengan cepat Al bangkit dan berjalan tergesa menuju pintu di depannya.

"Ada ap--" ucapannya terputus, tangannya menggantung di gagang pintu dengan pintu yang setengah terbuka.

Dua buah tangan mungil menghambur memeluknya diiringi oleh teriakan sekertaris dan satpam-satpam yang dipkerjakan Alexander. Juga tangisan anak kecil yang memekakkan telinga.

***

Tempat ini lagi. Kedua wajah itu lagi. Suasana yang juga sama, namun dengan ketegangan yang berbeda.

Keduanya diam. Sibuk dengan pikiran masing-masing.

Al yang masih menenangkan jantungnya, dan dia yang... ah, masih sesenggukan mencoba menghentikan tangisnya.

Orang yang berlalu lalang berjalan sambil melirik menembus kaca cafe yang transparan, bingung melihat dua orang itu diam bak kerbau dicocok hidungnya dengan dia yang terus menangis.

Hah, Al kembali menghembuskan napas berat. Hal kecil itu memang akhir-akhir ini menjadi kebiasaan yang tidak bisa dihentikan oleh Alexander jika menghadapi dia.

Dia.
Memikirkannya saja selalu bisa membuat Alexander termenung lama, menjelajah ruang dan waktu, mengorek kenangan yang masih mampu dipikirkan otaknya, yang mana adalah hampir semua kenangan mereka.

Dia, yang selalu berteriak manja. Dia, yang selalu bergantung padanya. Dia, yang pernah menangis hanya karena Alexander jatuh dari pohon. Dia, yang selalu sibuk mengurus orang lain hingga lupa dirinya sendiri. Dia yang manis. Dia yang selalu tersenyum. Dia yang selalu bisa diandalkan. Dia yang kuat, yang tetap bertahan ketika masalah datang tanpa berhenti. Dia... yang dicintai Alexander bahkan setelah bertahun-tahun terlewat.

Gadis itu, pikir Alexander. Dia memang selalu tahu cara untuk memotong batas membayang yang kadang sering tercipta. Gadis itu sudah dewasa sekarang. Dia sudah berani mengakui kesalahan dan menunjukkannya. Gadisnya. Gadisnya sudah dewasa.

Perasaan bangga muncul begitu saja tanpa bisa ia cegah.

Jadi begini rasanya... menjaga sesuatu yang berarti dan melihatnya berkembang bahkan tanpa dirimu.

Hah, Alexander mendesah lagi. Mungkin untuk kali ini, tetap dia yang akan mengalah pada akhirnya.

"I really am sorry," ucapan itu begitu lirihnya hingga Alexander hampir-hampir tak percaya dengan apa yang dia dengar.

Bahkan Alexander belum meminta maaf!

"I- I was acting like a child. I'm sorry. I really am. It's not your fault, it's not anyone fault. It was me being ridiculous for the hundreth times," ucap gadis itu sambil menunduk. "I'm sorry"

Entah mengapa rasanya mengucap kata maaf berkali-kali tetap tidak akan mengubah apa pun. Jadi dia mengulanginya lagi, dan lagi, dan lagi, hingga lidahnya kelu dan yang bisa dia lakukan hanya menangis dan terus menangis.

Alexander beku. Alexander tak lagi mampu berpikir. Jadi dalam kedipan mata, gadis itu sudah berada dalam dekapan Alexander. Erat.

Dia terus menangis sesenggukan. Seperti anak kecil yang baru hilang kemudian ditemukan ibunya.

"Ssh, Lan. Gue juga minta maaf. Maaf banget. Nggak seharusnya gue jadi kekanakan gitu. Nggak seharusnya gue bales marah ke elo. Maafin gue, ya?" ucapnya masih sambil mendekap Lana.

Lana tak mampu bicara. Jadi dia hanya mengangguk, sambil mempererat pelukannya.

Lana selalu ragu akhir-akhir ini. Lana merasa tidak bisa mengambil satu keputusan yang tepat. Lana bimbang. Lana hampir-hampir tersesat. Tapi kini dia tahu, segelisah dan semenjengkelkan apapun Lana, dia masih memiliki seseorang yang mengerti dirinya. Seseorang yang mau menerimanya. Seseorang tempatnya berkeluh kesah. Seseorang untuk menumpahkan segala beban pikirannya. Seseorang untuk tempatnya pulang.

Karena Alexander takkan kemana-mana.

Dan satu lagi kepingan hati Lana kembali, terekat kuat hingga tak akan terlepas lagi.

(....)

-----------------------------------------------------------------

Huaaa, part yang menguras ciduk *eh hati. Saya suuediiiiih, saya mau dong punya pacar model Al gitu.

Oh iya, saya baru aja buka-buka part lama di cerita Grey Summer ini. Ternyata ada beberapa comment yang masuk dan nggak saya balas. Maafin yaa, saya khilaf *eh nggak tau. Kan waktu itu henpon saya dan adek saya rusak. Sedangkan imail dan kawan-kawan ada di henpon itu. Yah, beginilah. Saya jadi nganggurin ini story bertahun-tahun. Tapi, saya usahakan tahun ini kelar.

Makasih ya, yang sudah tetap support walaupun Xev kalo update ngaretnya tahunan, xixi.

Smooch, Xev.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 18, 2015 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Grey SummerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang