8. Something that Can't Be Said

9K 2.9K 398
                                    

Dulu sekali, Antonio punya mimpi yang sebenarnya terdengar biasa-biasa saja bagi orang lain. Tapi bagi Antonio sendiri, itu jelas sebuah mimpi yang luar biasa. Dia ingin menikah dengan Teresa--sahabatnya di bangku SMA, dan tinggal di sebuah rumah yang tidak terlalu besar, tapi mampu melahirkan kehangatan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Sebuah rumah dengan halaman hijau yang luas di belakang rumah, jadi Teresa bisa menanam banyak bunga dan anak-anaknya kelak bisa bermain sepuasnya di sana.

Belasan tahun setelah angan-angan itu, Antonio memang berhasil menikahi Teresa. Lebih tepatnya, Antonio hanya berhasil menikahi raganya, bukan hatinya. Anak-anaknya memang terlahir dari rahim perempuan itu, tapi perasaan yang Teresa miliki tidak pernah terlahir sama sekali bahkan setelah bertahun-tahun mereka menikah.

Hari ini langit Jakarta berwarna kuning kemerahan, persis seperti warna langit ketika mereka mengucap janji pernikahan dulu. Dan jika Antonio memiliki kesempatan untuk kembali ke masa-masa itu, dia tidak akan pernah memaksakan apapun. Ia tidak akan pernah mengkhianati persahabatan antara dirinya dan Pram hanya karena mereka memiliki perasaan yang sama pada perempuan yang sama. Dulu, Antonio, Pramoedya, Ares, dan Teresa pernah digadang-gadang sebagai 4 sekawan yang tidak akan pernah terpisahkan kecuali oleh maut. Tapi nyatanya bukan maut yang mencerai-beraikan mereka, melainkan keegoisan Antonio yang tumbuh jauh lebih besar dibanding rasa sayang dalam persahabatan mereka.

Antonio marah ketika ia tahu bahwa Pram terlanjur jatuh cinta dengan Teresa, dan dia jauh lebih marah ketika keduanya memutuskan untuk menjalin hubungan. Kemarahan yang akhirnya membabi buta dan melahirkan penyesalan hingga detik dimana ia menarik napas panjang saat ini.

"Pi, besok Papi beneran datang kan ke acara sekolahannya kakak?"

Antonio menoleh. Laki-laki itu begitu cepat menyingkirkan sebatang rokok yang ia hisap ke dalam asbak.

"Kenapa, Kak?"

"Papi kemarin udah janji mau datang ke acara sekolah Kakak. Tolong ya, Pi, jangan ingkar janji lagi."

Antonio tahu bahwa dia sudah tidak memiliki jalan keluar untuk mengelak saat Alexa menatapnya dengan pandangan nanar. Anak 11 tahun itu terlihat cukup putus asa saat mendatangi dirinya hanya untuk memastikan bahwa dirinya akan datang ke pentas seni besok.

"Jam berapa?"

"Mulainya jam 9, tapi bisa nggak Papi datang sebelum jam 9?" Anak itu memelas sekali lagi.

Dan harusnya Antonio tahu bahwa dia tidak seharusnya membuat janji-janji palsu seperti ketika Alexa masih belum bisa menagih apa-apa padanya. Tapi lama-kelamaan, dia sadar bahwa anak sulungnya itu pasti terus bertumbuh dan cepat atau lambat pasti akan menyadari bahwa dia terlalu sibuk untuk hal-hal remeh seperti kegiatan sekolah anak SD. Dalam keterdiaman itu, Antoni sibuk mencari-cari alasan supaya dia tidak perlu datang. Bukan karena dia terlalu malas atau dia tidak peduli pada anak perempuannya, tapi karena besok dia punya janji yang jauh lebih penting dengan kolega. Janji yang sudah direncanakan bahkan sejak berbulan-bulan yang lalu.

Namun setiap kali melihat sepasang mata Alexa yang berkaca-kaca, Antoni pasti melemah. Seolah segala kekuatannya selama ini tidak pernah berarti apa-apa ketika berhadapan dengan anak itu. Lalu setelah menarik napas panjang, laki-laki itu mengulurkan tangan--meminta Alexa untuk mendekat.

"Kak, bukannya Papi--"

"Pasti nggak bisa lagi ya, Pi?"

Antoni terdiam dan dia masih begitu sibuk dengan isi kepalanya yang justru semakin runyam. Terkadang Antoni sadar, dia bukan ayah yang baik. Tapi bukan berarti dia tidak pernah menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya. Hanya saja, Antoni memiliki kesibukan jauh lebih banyak ketimbang ayah-ayah di luaran sana. Makanya dari dulu dia tidak pernah bermimpi menjadi orang kaya raya, dia hanya bermimpi hidup sedamai yang dia bisa. Itu saja.

Pramoedya [PREVIEW]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang