Usai bertemu dan bicara dengan Teresa, yang berkelebat dan memenuhi kepala Antonio bukanlah kalimat rujuk atau permintaan Teresa agar dia kembali pulang. Melainkan Pram. Di seberang jalan depan fakultas Fisip, Antonio memarkirkan mobilnya dan merenung di sana begitu lama. Tatapan matanya berlarian jauh ke seberang jalan, pada area kampus yang ramai oleh lalu-lalang. Antonio sendiri tidak tahu, kenapa dia harus buru-buru datang kemari dan berdiam diri di sana untuk waktu yang cukup lama. Sampai tak lama kemudian, ia menemukan sosok Pram mulai muncul di tengah keramaian. Seperti biasanya, laki-laki itu terlihat jauh lebih mencolok dibanding yang lainnya. Dengan tubuh jangkung, rambut agak panjang, dan pakaian dengan warna yang itu-itu saja, membuat Antonio bisa dengan mudah menemukannya.
Beberapa kali Pram terlihat balik menyapa mahasiswa yang tak sengaja bersimpangan dengan wajah datar. Pramoedya memang dari dulu seperti itu. Orang-orang selalu menilainya sebagai seseorang dengan perangai dingin, tapi pada dasarnya, Pram adalah seseorang yang sensitif dan cukup emosional. Antonio masih di sana ketika Pram mulai berjalan menuruni anak tangga--cukup tergesa-gesa ketika ia hendak menghampiri mobilnya. Namun di undakan terakhir, laki-laki itu berhenti. Ia berhenti cukup lama sebelum akhirnya menoleh ke arah mobil Antonio--sampai pandangan keduanya bersitatap untuk waktu yang lama.
○○○》♡♡♡《○○○
Butuh waktu bertahun-tahun bagi Pram untuk bisa duduk berdua dengan Antonio. Aroma mobil laki-laki itu masih sama seperti yang terakhir kali Pram menumpang di dalamnya. Waktu terus berjalan, tapi yang Pram lakukan sesaat setelah ia masuk ke dalam mobil Antonio hanyalah memperhatikan bagaimana anak didiknya berkeliaran di sekeliling fakultas. Antonio masih tidak mengatakan apa-apa, begitu juga dengan Pram. Yang keduanya lakukan hanya terdiam--sibuk bersiteru dengan isi kepala mereka sendiri-sendiri.
"Apa kabar?" Adalah kalimat pertama yang diucapkan Antonio setelah sekian lama ia terdiam.
"Langsung ke intinya aja."
"Gue sama Dimitri nggak ada hubungan apa-apa." Kata Antonio--berusaha menjelaskan.
"Gue yakin ini bukan soal Dimitri." Ucap Pram setelah itu.
Lalu untuk beberapa saat, Antonio menarik napas panjang. Ia menoleh pada Pram yang masih sibuk mengamati keramaian, dan satu-satunya hal yang bisa membuat Pram bergerak hanyalah saat Antonio meletakkan sebuah amplop putih persis di samping transmisi.
"Demensia?"
Pram jelas terperangah--meskipun tidak ada satu pun yang tahu bahwa Pram cukup terkejut dengan pertanyaan kawan lamanya itu. Dia tidak peduli tentang hasil laboratorium yang disodorkan oleh Antonio atau fakta bahwa dalam waktu cepat, dia akan kehilangan semua ingatannya. Tapi fakta bahwa Antonio mengetahui hal tersebutlah yang membuat dadanya berdegup jauh lebih cepat dibanding sebelumnya. Dan alih-alih berperilaku seperti maling yang baru saja tertangkap basah, Pram justru terkekeh.
"Sejak kapan?" Tanya Antonio. Laki-laki kedengaran sedikit khawatir, yang Pram sendiri tidak yakin, apakah Antonio benar-benar khawatir atau dia hanya berpura-pura simpati terhadapnya.
"Teresa." Sesaat setelah menyebut nama perempuan itu, Pram terkekeh lagi. "Gue nggak nyangka kalau dia bakalan mengkhianati prinsipnya sendiri."
"Gue tanya sekali lagi," Antonio kembali bersuara. "Sejak kapan lo kayak gini? Dimitri tahu?" Dan setelah nama itu disebut, Pram terdiam. Tidak ada garis senyum atau ekspresi apapun di wajahnya. Laki-laki itu menatap Antonio dengan sepasang mata yang penuh dengan kebencian.
"Jangan menghindar lagi, Pram. Jalani pengobatannya. Teresa bilang ke gue kalau lo tetap bisa--"
"Kenapa?" Tiba-tiba Pram menyela. Nada suaranya bahkan jauh lebih dingin dari sebelumnya. "Kenapa lo tiba-tiba ikut campur?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Pramoedya [PREVIEW]
Romance[Sudah tersedia di toko buku] Dimitri kembali pulang, tapi di tengah perjalanan, ia menyadari bahwa pulangnya tidak lagi terasa sama. Yang dibawanya bukan hanya koper dan kenangan dengan kota New York, tapi juga rindu. Rindu yang sampai mati pun ia...